Makna Idul Fithri bagi Umat

Ada sebuah ungkapan Arab yang berbunyai: Laisal `id liman kana tsaubuhu jadid
walakinnal `id liman kana taqwahu yazid
. 
Bukanlah `id itu bagi orang yang pakaiannya baru, tetapi `id itu bagi
orang yang taqwanya bertambah.  Ungkapan
ini apabila dicermati dalam konteks keindonesiaan, akan mengandung makna yang
sangat dalam dan luas.  Idul Fitri bagi
masyarakat Indonesia
merupakan momentum yang sangat strategis untuk bersilaturrahmi, untuk  saling memaafkan, dan untuk saling  melepaskan kerindauan diantara kawan dan sanak
keluarga.  Untuk keperluan tersebut,
orang rela merogoh koceknya buat sekedar mudik ke kampung halaman, bertemu
dengan sanak keluarga, tetangga lama, dan tentu saja ziarah kepada orang tua, baik
yang masih hidup maupun yang telah wafat.

Kebiasaan yang terjadi dan
telah membudaya di masyarakat kita adalah kenyataan bahwa idul fitri  merupakan hari raya yang tidak boleh
terlewatkan begitu saja.  Segala
keperluan untuk itu dipersiapkan sedemikian rupa, mulai dari pakaian, makanan,
kendaraan, dan ubo rampe lainnya. 
Sedikitpun tidak boleh terlewatkan, baik bagi orang yang berkecukupan
secara finansial maupun bagi mereka yang pas-pasan, bahkan bagi mereka yang
berkekuranganpun tidak mau ketinggalan. 
Akhirnya idul fitri tidak menjadi arena 
introspeksi dan evaluasi setelah satu bulan lamanya berpuasa, melainkan
hanya untuk menyenangkan diri, yang kadang-kadang juga berbau pemborosan.  Pantaslah pepatah Arab sebagaimana dikutip
diatas menyindir bahwa `id sesungguhnya hanya bagi orang yang taqwanya
bertambah, dan bukan untuk orang yang pakaiannya serba baru.

Pada kenyataannya hampir setiap
tahun kita disuguhi informasi tentang aktifitas mudik dengan segala persiapan
keamanan serta pernik-pernik lainnya, yang tidak hanya menyita perhatian aparat
kepolisian untuk mengatur dan mengamankan serta melancarkan perjalanan, tetapi
juga menyita perhatian semua pihak  untuk
mencarikan jalan keluar yang paling baik untuk mengatasi masalah transportasi
dan lainnya.

Makna idul fitri

          Idul
fitri ini apabila dilacak dari aspek bahasa dapat diartikan sebagai kembali
kepada fitrah atau kesucian.  Kenapa
harus kembali kepada kesucian? ya  karena
dalam keyakinan Islam pada awalnya 
seluruh manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah atau suci.  Nabi Muhammad saw. sendiri pernah mengatakan
: Setiap anak yang dilahirkan itu dalam keadaan fitrah atau suci,hanya
saja  kedua orang tuanya (dan juga
lingkungannya) lah yang  kemudian
menjadikannya sebagai yahudi, nasrani, atau majusi
. Namun dalam perjalanan
hidupnya, kebanyakan manusia menjadi belepotan dosa dengan melakukan maksiat
dan perbuatan negatif serta tercela. 
Fitrah atau suci tersebut dalam pengertian memang tidak berdosa dan
tidak menanggung dosa orang lain, meskipun dia itu anak dari hasil hubungan
gelap orang tuanya. Untuk kembali kepada fitrah tersebut, manusia harus
mendekatkan diri kepada Allah swt. dan banyak melakukan  perbuatan positif serta manjauhkan diri dari
perbuatan tercela dan dilarang,  agar
segala dosa yang telah diperbuatnya dapat diampuni oleh Tuhan.

          Salah
satu sarana untuk mendekatkan diri dan meraih pahala yang sangat besar serta
mendapatkan ampunan dari Tuhan adalah melakukan aktifitas ibadah di bulan
Ramadan, baik dengan  melakukan puasa  di siang harinya, maupun melaksanakan ibadah
salat tarawih, tahajjud, dan witir, berdzikir, mengkaji Alquran, serta
melakukan kegiatan amal untuk sesama.   
Nabi Muhammad saw.  sendiri memberikan
isyarat untuk hal ini  dalam salah satu
hadisnya yang berbunyi:  Barang siapa
yang berpuasa Ramadan ( dalam sebuah riwayat lainnya melakukan ibadah di malam
Ramadan) dengan didasari iman dan hanya 
semata mencari keridaan Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan
diampuni oleh-Nya.

          Dengan
melakukan  aktifitas Ramadan secara  benar dan sungguh-sungguh dengan selalu
mengikuti tuntunan syari`at, seorang anak manusia akan mendapatkan ampunan dari
Tuhan atas dosa-dosanya yang telah lalu. 
Artinya dalam hubungannya dengan Tuhan atau hablun min Allah seseorang
yang telah mendapatkan ampunan, tentu dapat dikatakan telah kembali kepada
fitrah atau kesucian tersebut.  Namun
dosa anak manusia yang diperbuatnya di dunia ini tidak hanya  berhubungan dengan Tuhannya, dengan melanggar
larangan atau tidak melakukan perintah-Nya saja, tetapi dosa manusia tersebut
juga banyak yang berhungan dengan sesama anak manusia lainnya.  Karena itu dengan hanya melakukan aktifitas
Ramadan tersebut kesucian yang didapatnya belum total.  Dia masih harus menghilangkan dekil dosa yang
diperbuatnya terhadap sesama manusia, agar benar-benar mendapatkan kesucia yang
hakiki, yaitu suci karena telah terbebaskan 
dari belenggu dosa terhadap Allah swt. dan juga  terbebas dari kesalahan dan kekhilafan
terhadap sesama manusia.  Untuk keperluan
tersebut seseorang tidak cukup hanya mengadukan dosa dan salahnya kepada Allah,
tetapi dia harus  secara langsung meminta
ampun atau maaf kepada sesama manusia yang bersangkutan.

          Salah
satu sarana yang paling jitu dan ampuh untuk tujuan tersebut adalah idul
fitri.  Sudah menjadi tradisi sejak
dahulu bahwa pada saat idul fitri, orang tidak merasa malu dan terbebani untuk
mengakui kesalahan dan kekhilafannya dihadapan semua orang.  Demikian pula 
dia tidak akan merasa berat untuk meminta maaf atas segala kesahannya
tersebut.  Hal ini tentu berbeda dengan
kondisi di luar idul fitri, dimana cukup banyak 
contoh orang tidak mau mengakui kesalahan yang diperbuatnya, dan bahkan
kesalahan yang dilakukannya tersebut diupayakan 
agar tampak benar. Pada kondisi yang demikian dia juga  antipati tidak mau meminta maaf atas
kesalahan dan kekhilafannya,  dia akan
lebih mengedepankan gengsi dan reputasinya di hadapan publik,  meskipun hal itu tidak tepat dan tidak dapat
menolongnya.

Lestarikan silaturrahmi

Tradisi idul fitri yang positif
dan  kondusif tersebut tampaknya  semakin hari semakin  memudar, sejalan dengan  hiruk pikuknya aktifitas manusia untuk hanya
sekedar hura-hura, dan melemahnya 
silaturrahmi yang menjadi ciri khas idul fitri.  Idul fitri yang bertujuan mengembalikan
kesucian diri  dengan mendekatkan diri
kepada sang Khalik agar mendapatkan kebersihan jiwa sebagaimana dahulu ketika
pertama kali menghirup udara dunia, dan kemudian dilengkapi dengan meminta maaf
kepada sesama manusia, yang dalam perjalanan hidupnya pasti pernah berbuat
salah dan khilaf, kemudian terlupakan oleh sebagian besar umat Islam;  yang ada hanya tinggal gegap gempitanya
liburan dengan berbagai acara yang justru jauh dari tujuan  semula. 

Karena itu kiranya perlu
disadari oleh semua pihak, terutama bagi mereka yang mempunyai peran di
masyarakat,  seperti para tokoh, para
pejabat di berbagai instansi, para lurah sampai presiden untuk menguri-uri
budaya positif ini dengan tetap mempertahankan 
silaturrahmi, dengan cara mempelopori gerakan  ini diwilayahnya masing-masing.  Bukankah silaturrahmi ini   dapat dijadikan sarana yang sangat efektif
untuk berkomunikasi dan menyampaikan pesan-pesan penting dalam kerangka kinerja
yang dibangun dan diinginkan.  Disamping
itu apabila dilihat dari perspektif agama, silaturrahmi ini menurut Nabi
Muhammad saw. juga dapat menambah panjang usia dan menambah luasnya rejeki,
bagi yang melaksanakannya. 

Sesungguhnya bentuk
silaturrahmi semacam ini dapat dilaksanakan dan bahkan dianjurkan kapan saja,
namun  idul fitri merupakan mementum yang
sangat strategis dan sangat mungkin serta mudah dilaksanakan, karena  masih kental dengan  suasana religius.  Dalam kesempatan dan suasanan seperti
itulah  introspeksi dan evaluasi diri
masih sangat mendukung dilakukan oleh siapa saja dengan tanpa  rasa sungkan 
dan ewuh pakewuh atau bahkan gengsi yang biasanya  selalu menjadi kendala utama.  Dalam suasana yang demikian, orang   akan dengan mudah dan tidak merasa terpaksa
mengakui kesalahan diri sendiri dan sekaligus memaafkan kesalahan orang lain,
yang hal seperti itu sangat sulit dilakukannya pada  saat di luar idul fitri.

Barangkali perlu digarisbawahi
bahwa bentuk silaturrahmi yang dimaksudkan untuk acara idul fitri tidak hanya
sebatas acara formal, seperti halal bihalal yang selama ini  kita kenal, tetapi lebih dari itu
silaturrahmi tersebut dapat dilaksanakan secara personal dengan  saling berkunjung ke rumah beserta keluarga
dalam suasana yang kekeluargaan pula. 
Mungkin cara yang terakhir ini justru akan lebih memberikan atsar atau
dampak positif bagi kesinambungan hubungan, baik kekeluargaan maupun
dinas.  Tetapi sekali lagi justru bentuk
silaturrahmi yang seperti ini sekarang mulai mengendur, terutama  pada kalangan menengah keatas, dan
perkotaan.  Dan itulah sesungguhnya yang
harus menjadi perhatian semua pihak untuk mempertahankan tradisi yang telah
mengakar di masyarakat kita sejak  zaman
dahulu, tentu dengan segala variasinya. Kita berharap bahwa Idul Fitri kali ini
akan menjadi ajang silaturrahmi dan mempuntai makna yang sangat mendalam untuk
merajut kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Amin.

         

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *