Betapa Arifnya Para Walisongo

Sebagaimana kita tahu bahwa para wali yang jumlahnya sembilan orang, yang menyiarkan agama di tanah Jawa, begitu terkenal, sehingga gaungnya pun tidak cuma berada di sekitar tanah air, melainkan juga sampai ke negeri orang, bahkan dikenal oleh dunia. Para peneliti dan tokoh Barat pun sangat heran dengan kiprah para wali yang dianggap spektakuler dalam menyiarkan Islam di Jawa.
Hal tersebut disebabkan sudah berabad-abad lamanya Islam masuk di nusantara, namun keberadaan Islam hanya di pusat-pusat kota dan kerajaan yang memang mereka itu telah memeluk Islam. Namun masyarakat di sekitarnya, apalagi yang ada di pedalaman, masih saja memeluk agama animisme, Hindu dan juga Budha sesuai dengan daerah masing-masing sejak dipengaruhi oleh agama-agama tersebut. Bahkan para da’i saat itu akan sangat kesulitan menembus masyarakat di pedalaman.
Akibatnya Islam sama sekali tidak berkembang dan tidak dikenal oleh masyarakat secara umum di nusantara. Sejarah juga tidak mencatat perkembangan Islam pada saat itu. Artinya dalam beberapa abad setelah Islam masuk ke nusantara, sama sekali tidak terdengar gaungnya dan akhirnya dipeluk oleh masyarakat secara umum. Kenyataannya masyarakat pedalaman dan juga pesisir masih saja memeluk kepercayaan yang selama itu dipegangnya secara turun temurun.
Barulah pada saat Wali yang berjumlah sembilan orang, yang kemudian dikenal sebagai walisongo terjun menyebarkan Islam di Jawa, Islam mulai menampakkan geliatnya dan secara luar biasa Islam dengan cepat menjalar dan dipeluk oleh sebagian terbesar masyarakat, baik di pesisir maupun di pedalaman. Sejarah pun mencatat demikian hebat perkembangan Islam pada saat itu yang tidak masuk akal sebagian besar tokoh yang menggeluti sejarah saat itu.
Namun itulah kenyataan yang mereka jumpai, sehingga mereka kemudian mencari apa penyebabnya para wali tersebut dengan cepat dapat meyakinkan para penduduk untuk memeluk Islam, padahal para wali tersebut juga sama sekali tidak dikenal sebagai pihak yang memaksakan kehendaknya kepada masyarakat agar mereka memeluk Islam. Apa yang dilakukan oleh para wali tersebut justru sangat lembut dan penuh kasih sayang, serta meyerahkan persoalan keyakinan tersebut kepada masing-masing masyarakat.
Tugas para wali tersebut ialah menyampaikan kebenaran, sekaligus disertai dengan sikap kasih dan sayang yang merupakan wujud dari ajaran Islam yang mereka bawa. Bahkan sebagaimana dikenal secara luas bahwa para wali tersebut sama sekali tidak mengusik kepercayaan yang selama itu sudah dipeluk mereka. Bahkan setelah mereka masuk dan memeluk Islam pun para wali tersebut masih tetap menghormati kebiasaan mereka yang telah lama dilakukan, seperti memeringati orang yang sudah meninggal tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari dan lainnya.
Hal yang sangat tampak pada penghormatan para wali terhadap kebiasaan yang sudah mengakar di masyarakat ialah keputusan sunan Kudus yang tetap menghormati masyarakat sebelum masuk Islam dimana mereka sangat menghormati sapi atau lembu. Karena itu Sunan Kudus tidak mau menyembelih sapi yang jelas-jelas dihalalkan oleh Islam, hanya semata-mata menghormati masyarakat Kudus, dan hal tersebut berlangsung hingga saat ini.
Sudah barang tentu para wali sama sekali tidak pernah menyakiti masyarakat dengan melakukan hal-hal yang melukai perasaan mereka, atau dengan melarang kebiasaan yang sudah mengakar di masyarakat. Dengan begitu pasti mereka tidak mungkin menvonis kepada masyarakat bahwa mereka akan masuk neraka jika tidak mau mengikuti para wali tersebut atau bahkan menganggap mereka yang masih melakukan kebiasaan mereka sebelum masuk Islam sebagai perilaku sesat atau sebutan lainnya.
Sungguh sikap yang ditunjukkan oleh para wali tersebut sangat santun dan lebih mendahulukan kasih sayang ketimbang ancaman atau kata lain yang dapat menyinggung perasaan mereka. Sikap tersebut kalau kemudian kita jejerkan dengan sikap para pendakwah saat ini, sudah barang tentu akan sangat jauh berbeda. Para da’i zaman ini sangat mudah mengafirkan orang atau menvonis sesat kepada orang yang tidak sejalan pemikirannya dengan mereka.
Lantas hasilnya? Sudah barang pasti akan banyak orang yang lari dan antipati. Jangankan kemudian mau mendekat dan memeluk Islam, untuk sekedar mendengarkan saja mereka akan menjadi sangat muak. Masyarakat bahkan akan mengecap para da’i tersebut sebagai pihak yang seolah memonopoli kebenaran dan seolah surga berada di tangan mereka. Padahal Tuhan saja Maha Bijak dan Kasih Sayang, kenapa para dai justru sangat garang dan mudah menyalahkan dan menyinggung pihak lain.
Kalaupun umat yang sudah menjadi muslim tidak kemudian lari dan mencari sesuatu yang lebih menyenangkan saja sudah beruntung, karena pada kenyataannya sikap dan perilaku para da’i yang sangat keras seperti itu akan menjauhkan masyarakat dari Islam. Sangat mungkin penyebabnya ialah mereka itu belum matang dalam memelajari Islam dan hanya mengetahui sedikit saja dari Islam dan hanya dari satu buku saja mereka mengenal Islam. Sehingga pemikiran dan pemahaman yang berbeda dengan apa yang mereka ketahui dianggap salah dan sesat.
Mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya khazanah keislaman itu sungguh sangat luas, bahkan lebih luas daripada lautan. Kalau mereka matang dalam mendalami Islam dengan mempelajari banyak pendapat dari berbagai ulama terdahulu, pastilah mereka akan semakin bijak dalam bersikap dan menjalani kehidupan mereka sebagai pendakwah. Namun sekali lagi sayangnya banyak diantara da’i saat ini yang ilmunya cupet dan hanya mempelajari Islam dari kulinya saja, kemudian seolah sudah mengetahui segalanya tentang Islam.
Hari ini kita menyaksikan betapa ada orang yang baru belajar Islam dan baru dapat membaca al-Qur’an dan hadits dari terjemahan, lalu seolah mereka itu sebagai seorang ustadz yang demikian hebat, sehingga mereka kemudian akan menjawab seluruh pertanyaan yang datang kepadanya. Jadilah mereka itu akan menjerumuskan umat.
Seharusnya para tokoh dan ulama yang menguasai Islam dengan baik mulai menyadari dan kemudian memperingatkan para dai dadakan tersebut agar tidak meneruskan kegiatan mereka yang hanya akan merusak citra Islam itu sendiri dan bahkan membuat perseteruan dengan sesama muslim. Jangan sampai mereka dibiarkan berlama-lama merusak Islam melalui dakwah mereka yang sama sekali tidak sesuai dengan sikap yang seharusnya ditunjukkan.
Demikian pula media diharapkan akan lebih mengedepankan kebenaran, ketimbang selebriti yang hanya mengejar ketenaran semata. Edukasi dalam menyiarkan Islam secara benar harus dikedepankan serta diikuti dan segera dibenahi segala hal yang dapat mengarahkan kepada keretakan dan kerusakan hubungan antar umat muslim sendiri. Hujat menghujat dan menvonis kepada pihak lain sebagai sesat harus segera dihentikan, karena vonis tersebut dilakukan hanya kekurang pengetahuan semata, dan bukan secara substansial memang demikian.
Mari kita meniru apa yang sudah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam menyiarkan Islam yang begitu santun dan penuh kasih sayang, serta tidak pernah menyakiti perasaan siapapun, termasuk mereka yang menganut kepercayaan berbeda dengan kita. Demikian juga kita dapat meniru apa yang sudah dipraktekkan oleh para wali yang menyebarkan Islam di tanah Jawa dengan begitu damai dan berhasil secara gemilang.
Lantas bagaimana kita justru mencari jalan sendiri yang sangat jauh dari sifat kasih dan sayang tersebut, apakah dengan berlaku menyimpang dari yang dilakukan oleh para wali dan juga Nabi sendiri tersebut akan berhasil dalam berdakwah? Jawabannya pasti tidak akan berhasil, alias gagal total, karena masyarakat akan semakin tidak suka dengan segala macam ancaman serta vonis sesat tersebut. Mereka menginginkan kondisi damai dan penuh kasih sayang, bukan saling menyalahkan atau mengafirkan. [28/3/16]
Dapat juga diakses di http://muhibbin-noor.walisongo.ac.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *