Potensi Zakat yang Belum Maksimal

Sebagaimana kita tahu bahwa zakat itu merupakan kewajiban bagi seluruh umat muslim yang mampu dan memiliki harta cukup. Namun kewajiban yang satu ini rupanya disikapi berbeda oleh sebagian masyarakat muslim, tidak seperti kewajiban shalat ataupun puasa Ramadlan, karena mungkin kalau shalat dan puasa akan mudah dikenali orang. Artinya kalau seseorang tidak menjalaninya, orang lain akan mudah tahu.
Namun kewajiban berzakat tidaklah demikian, karena waktu mengeluarkan zakat itu tidak berbarengan, melainkan sendiri-sendiri, sehingga kalaupun dengan sengaja tidak membayar kewajiban zakat, seseorang tidak akan diketahui oleh masyarakat. Itulah mengapa persoalan zakat tersebut sampai hari ini tidak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, alias masih sebagaimana yang lalu, yakni hanya mengandalkan mereka yang secara sadar membayarnya saja.
Padahal sesungguhnya kewajiban membayar zakat itu sama dengan kewajiban shalat dan puasa. Bahkan kewajiban zakat selalu dibarengkan dengan kewajiban menjalankan shalat, sehingga seharusnya dipahami kalau tidak membayar pajak, seseorang harus merasa berdosa sebagaimana kalau tidak menjalankan shalat. Persoalannya ialah ada pada bagaimana caranya memahamkan kepada masyarakat tentang kewajiban zakat tersebut.
Barangkali kalau ditanyakan kepada masyarakat muslim tentang zakat itu kewajiban atau bukan, mereka akan menjawab bahwa zakat itu merupakan kewajiban, namun sekali lagi tingkat kewajibannya dipandang tidak sama dengan kewajiban lainnya. Bahkan ada kesan bahwa zakat itu menjadi tidak wajib. Atau mungkin karena keteladanan dari para tokoh sendiri kurang. Artinya para tokoh yang selalu memberikan ceramah agama, justru tidak membayar zakat, dengan alasan kurang mampu dan lainnya.
Kita juga tahu bahwa batasan nisab itu sendiri juga berbeda antara para ulama, yang terbanyak ialah dengan mengkiaskan atau menganalogkan dengan zakat emas dan perak, sehingga akhirnya mereka tidak mengeluarkan zakat. Seharusnya ada terobosan baru yang dibuat untuk menggalakkan zakat tersebut, demi kesejahteraan umat.
Artinya bahwa terobosan batasan kewajiban zakat tersebut harus dipermudah dan diperjelas dengan menggunakan pendekatan pemahaman yang khas Indonesia. Barangkali dapat diambil patokan bahwa menurut kajian para ahli, seseorang itu akan cukup dengan penghasilan sebagaimana saat ini dirumuskan dalam UMR atau upah minimum regional. Artinya kalau penghitungan mengenai UMR tersebut dengan mempertimbangkan satu keluarga satu bapak, satu ibu, dan dua orang anak, cukup untuk hidup sederhana, maka selebihnya itu adalah kewajiban zakat.
Taruhlah kalau hidup di Semarang sebuah keluarga dengan dua anak tersebut sudah dapat hidup dan dipenuhinya kewajiban dasar, makan, sandang, kesehatan dan pendidikan anak, dengan gaji sekitar 3 juta per bulan, maka ketika seseorang sudah mendapatkan gaji lebih dari tiga juga rupiah perbulan, berarti dia sudah berkewajiban mengeluarkan zakat. Kalaupun belum mencapai batasan atau nisab tersebut, sebaiknya dia juga mengeluarkan sedekah atau infaq. Sebab pada prinsipnya setiap harta kita tersebut ada hak bagi faqir miskin yang melekat di dalamnya.
Nah, kalau hak-hak mereka tidak kita salurkan melalui saluran yang benar, kita khawatir nantinya justru apa yang kita konsumsi bercampur dengan harta yang bukan milik kita. Kalau hal tersebut benar terjadi maka kita akan menjadi pihak yang celaka, karena secara tidak menyadari telah memakan hak pihak lain yang justru lemah dan harus kita tolong.
Secara teoretik potensi zakat di lingkungan kita sungguh sangat besar, dan jika hal tersebut dapat dimaksimalkan, tentu banyak kebutuhan umat, seperti sarpras, pembangunan tempat-tempat pendidikan, sarana umum dan lainnya akan dapat tersupport oleh dana zakat tersebut. Demikian juga persoalan anak-anak miskin yang cerdas, tetapi kekurangan uang, akan dapat studi hingga tingkat tinggi dan dapat bersaing dengan mereka yang dari kalangan berada.
Jika batasan zakat diperjelas sebagaimana yang saya tawarkan tersebut, tentu akan banyak pihak, yakni umat muslim yang terkena kewajiban zakat. Kalau kita hitung dari jumlah pegawai negeri saja yang golongan 2 ke atas, yang tentu penghasilan mereka sudah sampai batas wajib zakat, maka uang zakat yang terkumpul akan sangat banyak. Itu belum lagi menghitung para pengusaha menengah ke atas yang jumlahnya sangat luar biasa banyak.
Maksudnya bukan pengusaha dalam arti para cukong dengan modal besar, melainkan mereka yang berusaha dengan modal secukupnya, baik dalam bidang pertokoan, bidang jual beli kebutuhan pokok di pasar dan lainnya. Nah, persoalannya mereka seolah tidak mempunyai kewajiban zakat terkecuali hanya zakat fitrah setiap tahun yang hanya dua setengah kilo gram makanan pokok atau beras. Tentu pemandangan tersebut sangat ironis karena di negeri kita umat muslim itu mayoritas, tetapi mereka seolah tidak ikut berkontribusi untuk kesejahteraan umat.
Sudah saatnya kita lakukan revolusi cara berpikir dan penyadaran kepada umat secara umum bahwa setiap harta yang kita miliki itu pastinya ada hak dari para fakir miskin, baik itu berupa zakat yang harus kita keluarkan maupun yang berupa infaq sedekah dan sejenisnya yang juga harus kita keluarkan. Himbauan selanjutnya ialah bahwa semua itu, yakni zakat, infaq dan sedekah sangat dianjurkan untuk disalurkan lewat lembaga pengelola yang handal dan amanah serta mempunyai program jelas.
Mungkin banyak yang belum menyadari apa perbedaan antara pentasarufan zakat, infaq dan sedekah tersebut secara mandiri dan melalui lembaga. Tetapi sebagai gambaran awal dan lebih umum, dapat disampaikan sebagai berikut. Bahwa kalau zakat, infaq dan sedekah tersebut disampaikan sendiri kepada masing-masing orang miskin, maka mereka tidak akan berubah menjadi berdaya, dan selamanya akan tetap menjadi miskin, sebab apa yang diterimanya pasti hanya untuk konsumtif semata.
Lain halnya jika zakat, infaq dan sedekah tersebut disalurkan lewat lembaga pengelola yang amanah dan mempunyai program pemberdayaan umat yang jelas, maka berapapun yang kita serahkan kepada pengelola tersebut, pastinya akan dikumpulkan dengan yang lain, dan digunakan untuk memberdayakan umat. Sebagiannya untuk memberikan pelatihan keterampilan kepada umat, dan sebagiannya lagi digunakan untuk membantu modal usaha yang dilakukan oleh mereka yang sudah dilatih.
Dengan gambaran program sederhana tersebut, dapat dilihat bahwa ada usaha untuk mengubah merka yang selalu bergantung kepada uluran tangan pihak lain, untuk dapat memberdayakan dirinya sendiri, melalui usaha yang mereka lakukan berbekal dengan keterampilan yang diperoleh melalui latihan. Jadi sesungguhnya kalau perhitungan mengenai kewajiban zakat tersebut diubah, maka akan ada perubahan signifikan, terutama dalam hal pengumpulan zakatnya itu sendiri.
Untuk ukuran Jawa Tengah saja, bukan sekedar milyaran rupiah yang dapat dihimpun melalui dana zakat tersebut, melainkan dapat dihimpun triliyunan dalam waktu satu tahun. Hitungannya sangat jelas bahwa hanya dari PNS yang hanya beberapa ribu saja sudah sangat jelas pendapatannya, lalu para pengusaha dan aghniya lainnya. Cuma memang ada persoalan lainnya yang juga harus diupayakan, yakni penyadaran kepada umat tentang kewajiban zakat tersebut dan juga keteladanan dari para tokoh.
Kita sangat yakin bahwa jika para tokoh berada di depan dan memberikan contoh dalam hal berzakat, insyaallah umat akan berpikir ulang tentang posisinya selama ini yang belum berzakat. Kalau persoalan tersebut tuntas, maka potensi besar tentang zakat tersebut akan dapat dimaksimalkan. Dengan begitu sebagaimana disebutkan di atas bahwa kesejahteraan umat dan fasilitas umat akan dapat dipenuhi dengan dana zakat tesebut.
sumber : http://muhibbin-noor.walisongo.ac.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *