Setiap datang hari kemerdekaan, seluruh masyarakat Indonesia tanpa melihat latar belakang etnis, budaya, dan agamanya mengadakan peringatan kemerdekaan dan memanjatkan doa syukur. Peringatan dilakukan dengan mengadakan berbagai acara lomba yang menghibur untuk mengungkapkan rasa suka cita yang tinggi. Walaupun kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, kenyataannya bangsa Indonesia sangat bersusah payah untuk mendapatkannya. Jutaan nyawa harus melayang, ratusan peperangan harus terjadi, dan tak terbilang harta kekayaan bangsa ini dijarah bangsa lain dengan cara keji. Ungkapan kegembiraan masyarakat terlihat setiap menjelang tanggal 17 Agustus dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Tradisi itu telah berjalan turun-temurun. Sepanjang Indonesia masih ada, generasi baru Indonesia akan terus menjaganya. Mungkin rasa suka cita kemerdekaan sedikit berbeda antara generasi 1945 dengan generasi sesudahnya apalagi dengan generasi millenial, namun laku masyarakat menjelang kemerdekaan akan menjadi wahana efektif bagi proses transfer rasa cinta kemerdekaan. Lama-lama generasi baru Indonesia akan bisa mengerti arti penting perjuangan nenek moyangnya agar anak cucunya bisa menghirup udara kemerdekaan. Peristiwa-peristiwa yang dialami bangsa Pelestina yang masih terjajah dan sebagian bangsa lain yang masih penuh gejolak akan membuat generasi baru Indonesia mampu bersyukur atas nikmat kemerdekaannya.
Para pendiri bangsa sangat menyadari adanya keterlibatan pertolongan Allah dalam semua proses menuju kemerdekaan. Itulah makanya, pembukaan UUD 1945 menyatakan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Rumusan yang dihasilkan oleh Panitia Sembilan itu kemudian ditetapkan sebagai Pembukaan UUD 1945 oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Rumusan itu benar-benar merupakan cerminan suasana batin bangsa Indonesia dalam menghayati perjalanan panjang menuju gerbang kemerdekaan.
Berkah Allah untuk negeri ini yang amat besar terlihat pada anugerah-Nya yang berupa putera dan putri terbaik bangsa ini. Allah memunculkan pahlawan-pahlawan yang di dalam jiwanya tumbuh jiwa keulamaan dan kepahlawanan. Laksamana Malahayati, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Bung Karno, Bung Hatta dan masih banyak lagi ribuan nama baik yang dikenal maupun tidak dikenal, baik yang diberi gelar pahlawan maupun yang tidak bergelar, baik yang dimakamkan di taman makam pahlawan maupun di pemakaman umum, semuanya adalah pemahat NKRI. Selama NKRI berdiri dan memberikan keamanan dan kenyamanan bagi warganya, maka amal jariah mereka akan terus mengalir. Kisah-kisah mereka amat mencengangkan.
Kisah keulamaan dan kepahlawanan para pengukir NKRI sungguh amat kaya. Laksamana Malahayati, misalnya, merupakan contoh Srikandi sejati Indonesia dari Aceh. Ketaatan pada agamanya dan kedalaman keislamannya telah mendorongnya untuk melanjutkan perjuangan suaminya dalam membela tanah air. Suaminya gugur syahid saat perang melawan penjajah. Ia tidak larut dalam duka berkepanjangan. Sepeninggal suaminya ia bermunajat kepada Allah dengan khusyuk. Allah memberikan keketapan hatinya untuk berjuang melawan Portugis dan Belanda demi kemerdekaan. Ia menggalang pasukan yang terdiri dari para janda korban perang. Pasukannya diberi nama Inong Balee (Janda Para Syahid) yang berjumlah 2000 personil. Kodratnya sebagai wanita tidak menghalanginya untuk maju ke medan laga. Pada tanggal 11 September 1599, pasukannya bertempur di lautan Aceh melawan pasukan Belanda dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Houtman adalah nama beken bagi pasukan Belanda. Dialah orang pertama Belanda yang mampu menaklukkan Batavia. Tapi prestasinya itu dihabisi oleh Malahayati. Pada saat dia mampu menghancurkan banyak kapal pasukan Malahayati, Malahayati tidak kurang siasat. Ia berenang sendirian dan menyelinap ke kapal Houtman. Akhirnya ia bisa menemui Houtman di atas geladak kapal. Ia tantang Houtman untuk bersikap ksatria dan berani bertempur satu lawan satu saat itu juga. Houtman menyanggupinya. “Ini hiburan gratis,” pikirnya. Terjadilah pertempuran sengit bersenjatakan pedang. Houtman salah perhitungan. Malahayati yang dia duga akan mampu dia taklukkan dalam hitungan menit ternyata mampu melayani permainan pedangnya bahkan membuatnya keteteran. Panglima angkatan perang Belanda yang terkenal itu akhirnya terkapar di ujung pedang Malahayati pada 11 September 1599 tanpa sempat minta ampun.
Sama halnya dengan Laksamana Malahayati, KH. Ahmad Dahlan merupakan anugerah nyata bagi Indonesia. Ia mampu menumbuhkan cara berislam yang menghidupkan bukan yang mematikan. Organisasi Muhammadiyah yang didirikannya pada 18 November 1912 mampu menjadi motivator para pemuda terjajah untuk berani menentukan sikap dan melawan penjajah. Kesalehan sosial yang ia gali dari Surat al-Ma’un ayat 1-7 telah mengantarkan masyarakat mampu mengorganisir dirinya dalam mewujudkan layanan sosial dalam bidang kesehatan dan pendidikan. KH. Ahmad Dahlan telah membangun tiang penyangga bagi NKRI terutama dalam mewujudkan kehidupan umat Islam Indonesia yang berkemajuan. Terdapat 50 juta masyarakat Indonesia yang meneruskan garis perjuangannya.
Anugerah lain yang dimiliki Indonesia adalah KH. Hasyim Asy’ari. Ulama yang memiliki visi kebangsaan mendalam ini mampu menumbuhkan cara berislam yang penuh welas asih dan inklusif terutama kepada masyarakat kecil. Cara berislam seperti yang dicontohkannya itu merupakan salah satu perwujudan nyata dari ungkapan Bung Karno dalam rumusan awal Pancasilanya yakni Ketuhanan Yang Berkebudayaan saat berpidato 1 Juni 1945. Dalam sebuah kesempatan, KH. Hasyim memberi nasihat, “Manusia harus bersatu, agar tercipta kebaikan dan kesejahteraan, dan agar terhindar dari kehancuran dan bahaya. Jadi, kesamaan dan keserasian pendapat mengenai penyelesaian beberapa masalah adalah prasyarat terciptanya kemakmuran” (Latif, 2017: 45). Visi keislaman yang inklusif itu kemudian dilanjutkan oleh cucunya yang pernah menjadi Presiden keempat RI, Gus Dur. Dalam ungkapannya yang populer, ia berkata: “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Visi yang demikian itu menjadi penopang berdirinya negeri Muslim terbesar di dunia ini melalui organisasi bentukan KH. Hasyim Asy’ari pada 31 Januari 1926 yang bernama Nahdhatul Ulama (NU). Resolusi jihad NU tanggal 22 Oktober 1945 adalah bukti nyata kekokohan NU sebagai pilar penyangga NKRI hingga mampu membuat tentara sekutu yang diboncengi tentara NICA gentar. Cara berislam yang dibenihkan KH. Hasyim Asy’ari itu merupakan aset penting NKRI dan terus akan dilanjutkan oleh lebih dari 90 juta para penerusnya.
Menyadari begitu besarnya anugerah Allah pada proses pencapaian kemerdekaan, Bung Karno selalu menekankan pentingnya bermunajat untuk menjalankan sesuatu yang besar. Dalam tradisi keulamaan, munajat merupakan hal yang lazim dilakukan. Ibn Katsir dalam tafsirnya menyebut bahwa Allah sangat dekat dengan manusia. Oleh karena itu, untuk memanggilnya cukup dengan bermunajat. Munajat berarti berbicara secara rahasia karena jarak yang amat dekat. Ini berbeda dengan munada (seruan). Munada berarti berbicara jarak jauh. Saat turun QS. Al-Baqarah 186, seorang Arab Badui bertanya, “Wahai Rasulullah? Allah itu dekat hingga kami bisa berbisik atau jauh hingga kami harus memanggil-Nya?” Allah mengetahui pertanyaan itu kemudian menurunkan ayat yang memastikan bahwa Allah itu sangat dekat.
Saat didesak para pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan menyusul penyerahan Jepang pada Sekutu, Bung Karno menolak. Bung Karno bersikukuh bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah untuk satu atau dua hari melainkan untuk selama-lamanya. Maka proklamasi harus dilakukan pada hari yang baik. Itulah hasil bermunajatnya pada Allah, laku ritualnya, hasil doanya secara khusuk dan penuh tawadhuk. Dalam penuturannya pada Cindy Adams, Bung Karno menuturkan, “…Tujuh belas adalah angka yang suci. Tujuh belas adalah angka keramat. Pertama-tama, kita sedang berada di bulan suci Ramadhan…Hari Jumat ini Jumat Legi. Jumat yang manis. Jumat suci. Dan hari Jumat tanggal 17. Al-Quran diturunkan tanggal 17. Orang Islam melakukan sembahyang 17 rakaat, bukan 10 atau 20? Karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia. Ketika aku pertama kali mendengar berita penyerahan Jepang, aku berpikir kita harus segera memproklamasikan kemerdekaan. Kemudian aku menyadari, adalah takdir Tuhan bahwa peristiwa ini akan jatuh di hari keramat-Nya (Latif, 2017: 32).
Marilah kita bermunajat! Kita perlu mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya untuk memanjatkan doa agar kemerdekaan kita abadi. Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 merupakan rahmat Allah yang amat besar. Ia adalah hasil perjuangan panjang. Banyak duka dan nestapa yang mendahuluinya. Doa-doa para ibu yang kehilangan putra harapannya sungguh didengar Allah. Cucuran keringat dan darah pejuang sungguh tidak pernah sia-sia. Bung Karno pernah mengaku bahwa ia mendapat pesan dari seseorang yang esok harinya akan dihukum mati. Pesannya amat menyayat hatinya. Orang itu berharap agar kematiannya tidak sia-sia. Ia meminta agar perjuangannya terus dilanjutkan. "Versi singkat tulisan ini pernah dimuat Suara Merdeka, 10 Agustus 2018"
[:]