Perjalanan bangsa ini dipenuhi dengan keberuntungan. Banyak yang tidak masuk akal tapi karena beruntung, jadilah itu kenyataan. Mengusir Belanda yang digdaya dengan senjata apa adanya adalah tidak masuk akal. Bambu runcing membungkam meriam adalah tidak masuk akal. Melawan tentara NICA yang mendarat di Surabaya dengan persiapan dan persenjataan yang alakadarnya sungguh tidak masuk akal. Bahkan menyatukan Sabang sampai Merauke dengan hanya bermodalkan niat dan rasa senasib adalah hal yang tidak masuk akal. Mengapa bisa terjadi?
Bangsa ini memang dipenuhi ketidakmasukalan. Dijajah Belanda sepanjang 350 tahun tapi tetap bertahan dan melawan adalah sebuah ketidakmasukakalan yang nyata. Dikuras habis kekayaan alamnya oleh penjajah tanpa ampun, tetap saja kaya sumber daya alamnya (SDA). Setelah merdeka pun, dijual murah SDA-nya oleh para pemimpinnya juga masih kaya. Ketidakmasukakalan masih terus berlanjut hingga masa reformasi. Rupiah runtuh hingga titik termurah, tetap saja bangsa ini berjalan. Rakyatpun menganggap itu bukan persoalan. Uang negara dikorupsi dengan serakahnya, tetap saja rakyat tidak bisa menghentikan. Fasilitas publik dikelola dengan amatiran, rakyat tak mempedulikan. Banyak pemimpin lebih bermodalkan uang daripada kepandaian, rakyat malah menyambutnya dengan penghormatan. Dana kampanye yang tidak seimbang dengan gaji resmi, tetap saja banyak yang minat mencalonkan diri. Bahkan di era kebebasan informasi seperti sekarang, mana pahlawan mana pengkhianat, semua tergantung pada permainan kemasan. Aneh! Namun, bangsa ini tetap tegak berdiri.
Keberuntungan
Bangsa ini selalu diliputi keberuntungan. Perjalanan bangsa ini membuktikan itu. Mengapa? Karena dalam tanah bangsa ini banyak dikebumikan jasad orang baik. Orang yang pada masa hidupnya memiliki niat baik, keinginan luhur, untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi anak cucunya. Mereka tanpa dibayar, tanpa dipuji, dan tanpa diliput media, terus berkarya dengan segala kemampuan dan keterbatasannya untuk mewujudkan cita-cita luhur itu. Lihatlah Diponegoro, Pattimura, Cut Nyak Dien, Kartini, Bung Karno, Bung Hatta dan masih banyak lagi.
Bangsa ini beruntung memiliki orang semacam Bung Hatta. Pria sang kutu buku ini memiliki wawasan filosofis yang amat dalam. Pernahkah anak bangsa ini merenungkan pergulatan batinnya agar bangsa ini terus tegak berdiri? Perenungannya yang mandalam dan pengalamannya yang panjang dalam memperjuangkan kemerdekaan sejak masih mahasiswa di Belanda hingga pulang ke tanah air mengantarkannya menemukan setitik cahaya bahwa bangsa ini harus diarahkan pada upaya mewujudkan kebaikan bersama. Dari mana nilai kebaikan bersama itu berpangkal? Dari Tuhan Yang Maha Esa. Maka bangsa ini harus berjalan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sumber segala kebaikan. Berkat perenungannya itulah ia merumuskan Pasal 33 dan 34 UUD 1945 yang bersumber dari ajaran ketuhanan yang diyakininya. Tanpa keinginan dipuji apalagi dipilih rakyat untuk menjadi pejabat tinggi, ia merumuskan koperasi dan menjalankannya. Sudahkah para perumus Amandemen UUD 1945 mengikuti jejaknya? Sudahkah mereka cukup merenung sebelum menuliskan pasal amandemen?
Bangsa ini juga beruntung memiliki orang-orang baik yang tak sempat terekam sejarah. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari yang tercatat. Pernahkah anak bangsa ini menghayati bagaimana seorang ajudan Presiden Soekarno harus menyelamatkan Bendera Poesaka yang dikibarkan di Jalan Pegangsaan Timur pada 17 Agustus 1945 itu? Dialah Husein Muthahar. Saat Bung Karno harus hijrah ke Yogyakarta demi keselamatan pemerintahan, dialah yang ditugasi Bung Karno untuk menyelamatkan Bendera Poesaka itu dengan nyawanya dan harus dikembalikan pada Bung Karno dengan selamat. Apa yang dilakukannya? Ia harus sembunyi dan menghindar dari sweeping pasukan Belanda. Namun akhirnya tertangkap juga. Saat ditangkap dan ditahan di Semarang, ia memegang teguh amanat Bung Karno. Untuk menghindari penyitaan, ia terpaksa harus memisahkan bagian merah dan putih dari bendera itu. Selamatlah Bendera Poesaka itu dari rampasan. Dia melarikan diri dari tahanan dan menuju Jakarta melalui laut. Sesampainya di Jakarta ia menjahit kembali dengan tangannya agar Bendera Poesaka bisa berwujud bendera untuk diserahkan pada Bung Karno yang saat itu ditahan di Muntok. Berkat orang baik inilah Bendera Poesaka selamat dari sitaan. Husein Muthahar tidak pernah mau disebut pahlawan. Bahkan sebelum wafat, dia berpesan agar tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Ia ingin wafat sebagai rakyat biasa dan dikubur bersama rakyat biasa. Memang, anak bangsa ini masih mengenang namanya berkat lagu Syukur yang ia ciptakan. Namun tidak banyak yang mengenal keihlasannya pada bangsa ini.
Bangsa ini juga beruntung memiliki falsafah yang mendalam yang dibangun dari pengalaman hidup ribuan tahun. Ajaran gotong-royong, asah-asih-asuh, digelar-digulung, dan mulur-mungkret merupakan percikan permenungan yang luhur yang tak dijumpai pada bangsa lain. Ajaran mulur-mungkret, misalnya, mengajarkan bahwa jadi manusia harus memiliki fleksibilitas tinggi. Ajaran ini mungkin diambil nenek moyang kita dari tumbuh-tumbuhan hijau yang banyak tumbuh di negeri zamrud khatulistiwa ini. Ajaran ini menganjurkan kita untuk meniru sifat tumbuhan yang selalu menemukan jalan untuk menggapai sinar matahari. Tumbuhan yang tertutup sesuatu dia akan membelokkan dahannya untuk bisa tetap hidup. Inilah yang membuat bangsa ini tetap tahan banting walaupun digencet bangsa lain ratusan tahun. Ajaran ini pulalah yang sadar atau tidak, telah mendorong anak bangsa ini selalu menemukan jalan keluar walaupun dalam himpitan yang menyulitkan. Seorang warga negara Jepang mengaku walaupun negaranya maju, ia lebih suka tinggal di negeri ini. Mengapa, di negerinya bila seseorang telah menentukan satu tujuan, sementara ia menjumpai jalan buntu, maka ia hanya akan menjumpai satu hal yaitu kegagalan. Sementara di negeri ini, saat kegagalan mengancam, selalu ada jalan alternatif. Selalu ada jalan tikus di negeri ini. Dunia elektronik dan dunia mesin sangat mengenal cara berpikir alternatif ini. Untuk membuat suatu alat bisa hidup, Anda bisa menggunakan suku cadang orisinal. Tapi bila tidak mungkin, alat itu bisa dicarikan suku cadang KW atau bajakan. Bila tidak bisa juga, alat itu bisa di-bandrek. Ini sebuah keberuntungan.
Diberkati
Dalam hidup ini, saya meyakini bahwa orang baik selalu beruntung, cepat atau lambat. Melihat silang sengkarut para politisi Indonesia kini dan permainan akrobat yang mencederai akal sehat, saya sebagai anak bangsa yang mempelajari sejarah dan falsafah bangsa ini, berseru hentikanlah permainan. Semua akal bulus dan permainan busuk tidak akan tegak di negeri ini. Mungkin permainan macam itu akan berjalan dan hidup beberapa saat, tapi tidak akan lama pasti runtuh. Becik ketitik, olo ketoro! (Perbuatan baik akan dikenang, perbuatan jelek akan terlihat). Bolehlah logika direkayasa dan hukum ditekuk sesuai kepentingan, tapi tanah bangsa ini tidak akan merelakan. Mengapa? Karena bangsa ini adalah bangsa yang diberkati. Mengapa diberkati? Karena bangsa ini dibangun dari mozaik keinginan luhur yang muncul dari orang-orang baik yang pernah lahir dari rahim tanah ini. Mereka mengindahkan Tuhan dalam cita-cita luhurnya. Maka, Tuhanpun memberkati cita-cita mereka. Siapa yang setia dengan garis perjuangan mereka, akan menuai bahagia. Siapa yang mencederainya pasti celaka. Mozaik cita-cita luhur para pendiri bangsa ini telah menjelma menjadi doa suci yang diberkati. Jangan sekali-kali anak bangsa ini mengkhianatinya. Mengkhianatinya berarti mengundang murka Tuhan. Bersiaplah menerima kutukan-Nya.
Muhyar Fanani, Dekan FISIP UIN Walisongo Semarang.
[:]