Tindakan pemerintah membubarkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) patut didukung. Berbagai aksi HTI yang mempromosikan khilafah dengan dalih untuk tegaknya NKRI merupakan gejala yang perlu diwaspadai. HTI berkeyakinan bahwa Indonesia akan jaya jika khilafah ditegakkan. Berbagai alasan diajukan. Namun, perlu ditegaskan bahwa jika khilafah tegak maka NKRI jelas akan runtuh. Mengapa? NKRI menyaratkan kesatuan. Kesatuan menyaratkan ideologi, sebuah ide yang disepakati sebagai fondasi yang menopang tatanan kesatuan itu. Sejarah Indonesia modern membuktikan bahwa yang bisa menyatukan bangsa ini adalah Pancasila bukan agama. Memang agama menyeru dengan keras pentingnya persatuan. Tapi faktanya pada saat agama turun di bumi, persatuan sulit diwujudkan. Dalam intern agama saja terdapat firqah-firqah dan mazhab-mazhab. Persatuan beda agama lebih sulit lagi untuk diwujudkan dalam dunia nyata. Ini tentu bukan kesalahan agama, melainkan kesalahan manusia dalam menerapkan agama. Hanya para nabi yang mampu menerapkan agama sebagai pemersatu manusia. Mengapa? Karena para nabi dibimbing dan dijaga oleh Zat Pencipta Agama. Tapi para nabi itu kini telah tiada. Sementara manusia harus terus hidup membangun peradabannya. Itulah makanya, sangat bisa dimaklumi tindakan seorang rektor perguruan tinggi agama terbesar di Yogyakarta yang mengeluarkan himbauan agar seluruh mahasiswanya tidak bergabung dengan organisasi yang anti-Pancasila dan anti-NKRI.
Akal sehat
Jika para nabi telah tiada, sementara manusia harus terus menata kehidupan bersamanya, apa yang harus dilakukan? Menata kehidupan bersama dengan akal sehat. Itulah yang harus dilakukan oleh manusia. Akal sehat akan mampu membimbing manusia untuk menemukan keluhuran dengan cara mempelajari dalil-dalil qauli (firman Tuhan) maupun dalil-dalil kauni (alam seisinya termasuk sejarah peradaban umat manusia). Keluhuran itu kemudian menjadi cita-cita bersama. Ia menjadi idealitas bersama. Itulah makanya ia disebut dengan ideologi, sebuah sistem berpikir yang diyakini terbaik dan paling relevan untuk diperjuangkan. Sekumpulan manusia yang tidak memiliki ideologi tidak akan lama menjadi sekumpulan. Ia akan tercerai berai. Manusia yang tercerai berai akan sulit membangun peradabannya.
Peradaban Indonesia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, merupakan hasil rajutan para pendahulu selama ribuan tahun. Manusia Indonesia modern tidak bisa mengingkarinya. Bagaimana bisa mengingkarinya, jika setiap hari ia masih merasakan tengkleng lebih nikmat dari roti, sop buntut lebih lezat dari kebab, garang asem lebih aduhai dari burger, dan nasi rendang lebih nendang dari nasi kebuli? Selama kita masih merasa lebih nikmat dengan kuliner Indonesia, maka sesungguhnya kita adalah orang Indonesia. Kita berhutang budi pada para pendahulu kita. Andai mereka tidak menemukan ribuan resep kuliner itu, tentu kita setiap hari hanya akan menyantap nasi putih atau campuran nasi dengan rajangan daging yang tanpa cita rasa.
Kemampuan meracik kuliner khas Indonesia itu diulang oleh manusia Indonesia generasi 1945 dengan menggali Pancasila. Putera terbaik bangsa ini telah memberikan percikan permenungan yang luhur dengan menemukan kembali falsafah bangsa. Mereka menyusuri lorong-lorong peradaban masa lalu dengan cermat. Sungguh rumit menangkap mutiara keluhuran yang telah tertimbun selama berabad-abad. Namun berkat kemampuan abstraksi filosofisnya, kemurnian hati dan pikirannya, untaian mutiara bisa diangkat kembali dan diberi nama Pancasila. Bung Karno pernah menyatakan bahwa Pancasila itu bisa diperas menjadi ekasila yaitu gotong royong. Berkat akar tunggang peradaban yang kuat itu, selama 7 dasawarsa lebih, Pancasila terbukti mampu menjadi fondasi yang menyatukan bangsa Indonesia yang multi-sara (suku, agama, dan ras).
Bagi umat beragama, Pancasila merupakan intisari ajaran semua agama. Bagi umat Islam, Pancasila berakar pada filsafat politik Islam yakni al-Farabi (870-950). Menurut al-Farabi, negara yang paling baik adalah negara yang dipimpin oleh para nabi. Namun, karena jumlah nabi itu terbatas, maka negara yang paling baik adalah yang dipimpin oleh para filosof karena mereka mewarisi sifat kenabian yaitu cinta pada hikmah/kebijaksanaan. Jika para filosof tidak ada, maka negara yang paling baik adalah yang dipimpin oleh orang yang memiliki sifat filosof yaitu cinta pada hikmah/kebijaksanaan. Bandingkan dengan sila ke-4 Pancasila. Anda akan menjumpai benang merahnya. Bagi umat Islam, Pancasila merupakan kalimatun sawa’ (statemen sama) bagi seluruh anak bangsa. Ia adalah ajaran Islam yang dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami seluruh anak bangsa tanpa melihat latar belakang suku, agama, dan ras-nya. Tanpa ada kemasan yang bisa dipahami oleh semua orang, sehebat apapun isinya, jangan harap ada kesepakatan. Tanpa ada isyarat yang bisa ditangkap, sehebat apapun cinta Anda, jangan harap dia akan mencintai Anda!
Namun, jika generasi Indonesia pasca 1945 gagal dalam menerapkan Pancasila dalam kehidupan bersama yang nyata terutama dalam bidang ekonomi dan politik, kegagalan itu akan memicu gerakan yang meragukan Pancasila. Beberapa gelintir manusia Indonesia baru menggugat relevansi Pancasila setelah tidak mereka temukan Pancasila dalam kehidupan nyata bahkan dalam wujudnya yang paling sederhana, yakni gotong royong.
Jalan Tengah
Mengapa Pancasila bisa menyatukan bangsa? Karena ia adalah jalan tengah. Pancasila tidak berdiri pada titik ekstrim kiri (sosialis), tidak pula berada pada titik ekstrim kanan (kapitalis). Pancasila menghormati hak-hak individu tapi pada saat yang sama dalam hak individu itu terdapat hak-hak sosial. Perpaduan antara individualisme dan sosialisme itulah Pancasila. Tentu ini bukan pemikiran baru. Para guru bangsa telah merumuskan hal ini. HOS Tjokroaminoto, misalnya, menggariskan perpaduan ini dengan sangat tegas dalam karyanya yang monumental tentang sistem kemasyarakatan yang sosial-religius bersendikan demokrasi.
Dalam bidang ekonomi, Pancasila mengajarkan bahwa yang kuat harus melindungi yang lemah. Mengapa? Karena gotong royong tidak pernah membebani manusia diluar batas kemampuannya. Yang kuat akan menyumbang lebih besar agar suatu pekerjaan terlaksana dengan baik. Yang lemah dibolehkan menyumbang sekedar tenaga karena memang hanya itu yang mereka punya. Bahkan bagi orang tua jompo, hanya diminta doa restunya agar pekerjaan selesai dengan selamat. Itulah gotong royong. Darimana ajaran semacam itu berasal? Bung Hatta secara tegas menyatakan bahwa itu dari ajaran agama. Gotong royong merupakan kebaikan. Sumber dari segala kebaikan adalah Tuhan Yang Maha Esa. Agama mengajarkan bahwa manusia tidak boleh dilihat dari kekayaannya. Manusia harus dilihat dari kebaikannya, dari ketakwaannya. Prinsip gotong royong mengajarkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan (UUD 1945 Ps 33 ayat 1). Layaknya sebuah keluarga besar, seorang kakak tidak boleh nakal pada sang adik, sebaliknya sang adik tidak boleh kurang ajar pada sang kakak. Tidak boleh seorang kakak menindas sang adik. Singkat kata, hubungan kakak adik haruslah berdasar atas prinsip saling melindungi, saling membantu, dan saling menghormati. Pelanggaran atas prinsip ini akan memicu ketidakpercayaan antara satu dengan yang lain. Jika pelanggaran terjadi, negara sebagai bapak harus menegur yang keliru dan memberi penghargaan pada yang benar. Bapak tidak boleh nurut pada yang keliru walaupun itu dilakukan oleh anak terbesar. Bapak juga tidak boleh disetir oleh anak yang terbesar walaupun anak itu bernafsu dan mampu untuk itu. Dalam konteks ekonomi ini pula, Bung Hatta berusaha keras meyakinkan pada kita bahwa sistem ekonomi yang cocok bagi Indonesia adalah ekonomi Pancasila bukan sistem ekonomi kapitalisme. Mengapa? Ekonomi kapitalisme berbasis pada filosofi individualisme. Sementara masyarakat Indonesia berbasis pada kolektivisme.
Dalam bidang politik, Bung Hatta menegaskan bahwa demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia bukanlah demokrasi ala Barat melainkan demokrasi khas Indonesia (Pidato Bung Hatta dalam Peringatan lahirnya Pancasila di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta, 1 Juni 1977). Demokrasi itu bisa dijumpai di pedalaman desa pada saat masyarakat desa mengurus jenazah atau membangun tempat ibadah. Pada acara-acara itu yang didaulat menjadi pemimpin bukanlah yang paling berduit, bukan pula yang paling popular, melainkan yang paling bijak diantara mereka. Yang paling bijak itu rata-rata adalah yang paling mumpuni (kompeten), paling berilmu/pengalaman, dan paling saleh. Bung Hatta menyebut demokrasi macam itu sebagai demokrasi Pancasila. Walaupun terdidik di Barat, guru-gurunya orang Barat, pikirannya diisi dengan teori Barat, tapi Bung Hatta tidak mau Indonesia dibangun atas fondasi pikiran/teori Barat. Baginya demokrasi Barat berangkat dari pengalaman hidup individualisme. Demokrasi yang dibangun dari filosofi individualisme akan menjadi demokrasi liberal. Demokrasi liberal tidak akan mampu mewujudkan tradisi luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa? Karena dalam demokrasi liberal, yang terpilih bukanlah yang paling bijak melainkan yang paling kuat modal kampanyenya.
Kembali pada Pancasila
Permasalahan Indonesia sejak merdeka adalah bagaimana merealisasikan Pancasila yang lebih merupakan filsafat politik ke dalam dunia nyata. Thompson menyatakan filsafat politik itu membahas apa yang seharusnya (alam ideal), sementara ilmu politik itu membahas apa yang terjadi (dunia riil) (Mel Thompson, Understand Political Philosophy, 2010: 3). Gap yang terlalu lebar antara keduanya akan memicu keinginan untuk pindah ke lain hati. Mungkin sebagian orang mulai berpikir, jangan-jangan memang Pancasila yang tidak bisa diterapkan karena terlalu ideal.
Saya meyakini Pancasila bukanlah filsafat politik yang tidak bisa diterapkan dalam riil politik. Pancasila bisa diterapkan bahkan dalam semua aspek kehidupan yang dulu dikenal dengan IPOLEKSOSBUDHANKAM. Bahkan Pancasila bisa diterapkan dalam IPOLEKSOSBUDHANKAMLING (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan lingkungan). Persoalan Indonesia pascareformasi bukanlah persoalan utopisnya Pancasila, melainkan terlalu lemahnya konsistensi kita untuk menjalankan Pancasila. Amandemen yang sudah empat kali terhadap UUD 1945 ternyata belum bisa mendekatkan Pancasila dari alam ideal menuju alam riil. Dalam bidang politik, amandemen itu melahirkan kepemimpinan yang genit. Goyangannya heboh tapi sumbangan pada kesejahteraan rakyat masih sedikit. Dalam bidang ekonomi, sistem ekonomi semakin kapitalistik. Yang kaya semakin kaya yang miskin semakin sulit. Ini sudah cukup menjadi bukti bahwa mengabaikan implementasi Pancasila, hanya akan menghasilkan petaka. Generasi dari generasi memiliki tugas yang abadi dalam mengimplementasikan Pancasila ini. Generasi 1928 hingga 1945 telah menggali Pancasila dan memerdekan Indonesia. Generasi 1945-1980 telah berhasil menerapkan Pacasila yang secara relatif sukses. Generasi 1980-sekarang, generasi milenial, bertugas melanjutkan implementasi itu sesuai dengan konteks milenialnya.
Peran Generasi Milenial
Berbicara tentang generasi milenial tidak bisa dilepaskan dari teori generasi. Berbicara tentang teori generasi tidak bisa dilepaskan dari Karl Mannheim (1893-1947M), sosiolog berkebangsaan Hongaria. Pada tahun 1923 melalui esainya berjudul The Problem of Generation, ia menyebut bahwa manusia cenderung saling memengaruhi dan membentuk karakter yang sama karena melewati sosio-sejarah yang sama. Itulah teori generasi. Teori Mannheim ini kemudian dikembangkan oleh para sosiologi AS dengan membagi manusia menjadi beberapa generasi:
- 1- Generasi Era Depresi (Perang Dunia I)
- 2- Generasi PD II
- 3-Generasi Pasca PD II
- 4-Generasi Baby Boomer(lahir sebelum 1960)
- 5-Generasi X ((tahun kelahiran 1961-1980), perang dingin, gejolak dunia, kenal computer).
- 6- Generasi Y (Milenial, tahun kelahiran 1980-1990), transisi dari alat manual ke digital, dan kemunculan internet)
- 7-Generasi Z (anak yang lahir 1990-2010, generasi yang begitu lahir sudah menikmati internet yang dahsyat, gila serba instan).
- 8-Generasi Alpha (tahun kelahiran 2010-sekarang, gila inovasi).
Generasi Milenial berbeda dengan generasi Z dan Alpha. Mienial adalah sesuatu yg terkait dengan milenium. Milenium adalah bilangan untuk tiap jangka waktu 1000 tahun dalam kalender. Maka, generasi milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1980-1990 sehingga akrab dengan internet tapi juga menjumpai zaman pra internet. Generasi milenial (generasi setengah-setengah) masih menikmati era sebelum internet dan sesudah internet. Sementara generasi Z dan Alpha hanya menikmati 1 era yakni kemajuan internet yang dahsyat (netflix, virtual reality, video games). Proporsi generasi milenial saat ini (2018) mencapai sekitar 34,45 persen dari total penduduk Indonesia.
Generasi milenial memiliki karakteristik tersendiri. Generasi ini akrab dengan komunikasi, media, teknologi digital, dan internet. Generasi ini cenderung liberal dalam politik dan ekonomi. Mereka suka bersikap terbuka dan demokratis. Mereka sangat kreatif dan inovatif. Mereka mendapatkan pasokan informasi melimpah, tapi validitas cenderung diabaikan. Akibatnya, mereka suka yang serba cepat (instan) walaupun akurasi rendah. Hal yang amat sulit mereka hindari adalah globalisasi yang dalam beberapa aspek justru membahayakan mereka. Mereka bisa kehabisan waktu hanya untuk bersama gadget-nya, tanpa sempat bergaul secara normal dengan dunia nyata di sekitarnya.
Bagi generasi milenial, Pancasila barangkali kurang menarik dan terlalu abstrak. Bisa jadi, Pancasila agak sulit dipahami secara tuntas dan mendalam. Penyebabnya adalah: (1). Pembelajaran tidak tuntas sehingga generasi baru tidak menangkap struktur kemasukalannya (plausibility structure). (2). Pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari dan kenegaraan tidak konsisten sehingga tak ada uswah (contoh nyata). Inti dari Pancasila itu adalah jalan tengah, tidak ada ekstrem kiri maupun kanan baik dalam politik (komunisme vs fundamentalisme) maupun ekonomi (sosialisme vs kapitalisme).
Generasi milenial perlu membangun komitmen berpancasila lebih keras di tengah godaan ideologi global yang cenderung menipu. Mengapa menipu? Jika betul ideologi global itu ditiru Indonesia yang terjadi bukanlah kebahagiaan melainkan kesengsaraan bersama. Lihatlah Saudi Arabia, Syria, Iraq, dan Afganistan. Apakah Indonesia kita yang Indah dan kaya ini akan dibangun seperti itu? Penduduknya tidak memiliki kebebasan hakiki, kerukunannya bukan kerukunan hakiki. Para petinggi Afganistan pernah mengeluh ke Presiden Jokowi, bahwa mereka ingin seperti Indonesia. Indonesia terdiri dari 1300 suku tapi semuanya rukun. Sementara Afganistan terdiri dari 3 suku tapi susah diajak rukun.
Generasi milenial perlu membangun keyakinan yang final untuk kembali pada jati diri bangsa yang bernama Pancasila. Mereka perlu menangkap filosofi Pancasila secara tuntas. Mereka juga perlu mempromosikan secara luas nilai filosofisnya dengan ICT agar mudah dipahami. Mereka perlu mempraktikkan Pancasila dalam laku hidup sehari-hari mulai dari diri sendiri, lingkungan sekitar, dan policy kenegaraan. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah peran mereka dalam mengawal secara pasti agar negara ini dipimpin oleh orang yang berhikmah dengan cara pemilihan yang berhikmah juga.
Banyak hal yang bisa dilakukan generasi milenial dalam mengimpementasikan Pancasila. Generasi milenial menyukai sesuatu yang nyata, maka Pancasila perlu dilaksanakan secara nyata dalam kegiatan yang nyata pula baik dalam lingkup kecil, kelompok, maupun policy kenegaran. Generasi milenial pastilah sangat menunggu bukti nyata pelaksanaan Tri Sakti Bung Karno dalam Indonesia yang nyata yakni kemandirian ekonomi, kekokohan budaya, dan kedaulatan politik. Generasi milenial menyukai gadget dan medsos. Pancasila perlu dipromosikan dengan itu. Generasi milenial sangat suka dihargai eksistensinya, Pancasila perlu dikemas dalam bentuk pemberian penghargaan bagi mereka yang berkomitmen Pancasila. Generasi milenial suka dengan dialog dan narasi yang ringan dan santai. Pancasila perlu dinarasikan secara simple dan menyenangkan.
Jika Pancasila bisa dijumpai di semua ruang dan waktu keindonesiaan kita, pastilah NKRI utuh. Mengapa? Karena kita menjalankan DNA kita. Pancasila adalah DNA kita[]
[:]