“Moderasi Beragama Harus Jadi Kebutuhan Bersama”

Halaqah Ulama Moderasi Beragama, di UIN Walisongo Semarang, Kamis (8/3/2021)

“Semua anggota masyarakat harus terlibat moderasi beragama. Tantangan di era digital saat ini, misalnya kata moderasi beragama masih kalah dibanding istilah toleransi, jihad, dan sebagainya.”

UIN Walisongo Online, Semarang – Moderasi Beragama yang dikampanyekan banyak pihak harus dijadikan kebutuhan bersama. Moderasi beragama tidak boleh lagi sebatas program pemerintah, melainkan harus menjadi program bersama pemerintah dan masyarakat untuk membentuk karakter keislaman yang santun.

Hal tersebut disampaikan Rektor UIN Walisongo Semarang Prof. Dr. Imam Taufiq, M.Ag memberi sambutan dalam kegiatan Halaqah Ulama Moderasi Beragama yang diselenggarakan Rumah Moderasi Beragama dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UIN Walisongo di ruang teater lantai 4, Kamis (8/2/2021).

Hadir sebagai nara sumber halaqah Guru Besar Sosiologi Agama UIN Sunan Ampel Surabaya Prof Dr Nur Syam, Guru Besar UIN Walisongo Prof Abu Rokhmad, Pengasuh Ponpes At Taharruriyah Semarang Dr Abu Hapsin. Modrator dalam kegiatan ini Direktur RMB Dr Imam Yahya.

Rektor menyatakan kegiatan halaqah moderasi beragama punya signifikansi yang penting untuk saat ini. Semua pihak harus menyadari term moderasi beragama jadi tuntutan bersama, tidak sebatas program formalitas pemerintah saja.

Semua anggota masyarakat harus terlibat moderasi beragama. Rektor menyebut tantangan di era digital saat ini, misalnya kata moderasi beragama masih kalah dibanding istilah toleransi, jihad, dan sebagainya.

“Ini tantangam kita bersama, kita perlu menata agar hidup lebih santun, lebih ramah,” ujarnya, memberi sambutan.

Halaqah ulama moderasi beragama menghadirkan sejumlah peserta, antara lain para kiai, gus dan santri senior.

Halaqah Ulama Moderasi Beragama, di UIN Walisongo Semarang, Kamis (8/3/2021)

Budaya Islam Lokal

Salah satu nara sumber Prof Nur Syam mengantarkan paparannya tentang konsep moderasi beragama, yaitu komitmen kebangsaan, akomodasi terhadap budaya lokal dan anti kekerasan. Budaya lokal, kata dia, sudah tidak ada.

Yang ada saat ini adalah budaya Islam lokal.

“Itulah Islam yang ada dalam konteks keindonesiaan. Orang NU menyebut Islam Nusantara, Muhammadiyah Islam Berkemajuan. Gus Dur menyebut pribumisasi islam, Cak Nur menyebut islam indonesia. Bagaimana Islam Indonesia diwarnai,” ujar penulis buku Islam Pesisir ini.

Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag ini ingin orang memahami budaya islam lokal dengan baik. Ia tidak ingin orang Islam Indonesia justru ingin seperti Islam Arab.

Selain itu, masalah utama gerakan moderat itu adalah tidak terlalu progresif. Hal berbeda dengan kelompok minoritas yang progresif yang ingin tampil menonjol.

“Penyakit orang moderat itu ‘tidak progresif’. Yg progresif umumnya distigma minoritas. Seberapa banyak sih golongan kecil ini? Tidak banyak, tapi mereka progresif, pengaruhnya besar, punya kemampuan IT yang canggih,” tambahnya.

Oleh karena itu, dia minta agar mayoritas terutama gerakan moderat agar tidak diam. Sebab, tindakan diam dalam ancaman seperti ini tidak dibenarkan.

“Mayoritas harus bicara, karena kondisi seperti ini harus dilawan. Apalagi tantangan bagi milenial adalah generasi yang tidak banyak punya teman. Semua diakses melalui IT. Ini semua perlu diantisipasi,” tandasnya lagi. (Tim Humas)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *