UIN Walisongo Online, Pekalongan – Dalam rangka Dies Natalis UIN Walisongo ke-52 yang pada tahun ini diselenggarakan dengan tema “Bersinergi Menggapai Rekognisi”, Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (FUHUM) UIN Walisongo Semarang melakukan ziarah ke makam waliyullah yang ada di Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Pemalang. Waliyullah tersebut yaitu Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas Sapuro, kakek dari habib Lutfi Pekalongan dan makam Mbah Nur Durya Bin Zahid Moga Pemalang.
Ziarah tersebut merupakan bagian dari 52 wali allah yang di ziarahi, termasuk didalamnya walisongo. Ziarah tersebut diikuti oleh pimpinan yaitu Dekan Fuhum, Dr. H. Hasyim Muhammad, M.Ag.; Wakil Dekan I, Dr H Sulaiman MAg, Wakil Dekan 2, Dr H Rokhmah Ulfah MAg, Wakil Dekan 3, Dr H Safii M. Ag., Kabag TU Ahmad Fauzin MSI beserta rombongan.
Dekan FUHUM, Dr H Hasyim Muhammad MAg menyampaikan bahwa kegiatan ziarah sebagai upaya peningkatan semangat spiritual untuk ketahanan dan kejayaan UIN Walisongo Semarang.
“Dengan ziarah maka ada super elemen spiritual yang menguatkan organisasi atas terpaan hal hal yang tersembunyi,” ujarnya.
Hasyim menambahkan bahwa melalui ziarah ini diharapkan semua elemen terutama keluarga besar UIN Walisongo mendapat rahmat dan pertolongan dari Allah SWT. Ziarah ini kita maknai sebagai pendekatan kepada sang maha kholiq.
Ia menambahkan bahwa Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas lahir di Al-Hajarayn, Hadramaut, tahun 1839 M. Pendidikannya dimulai di Hadramaut, tapi beliau pergi ke Hijaz setelah kematian ayahnya dan tinggal disana selama 12 tahun, belajar dibawah bimbingan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan ( wafat tahun 1886 M) dan ulama-ulama lain. Akhirnya beliau pergi ke Jawa, menetap di Pekalongan dan terkenal sebagai figure religius disana.
Menurut sejarah dalam beberapa buku, bahwa Habib Ahmad bin Andullah bin Thalib Al-Atthas dikenal sebagai pribadi yang sederhana. Hampir seluruh waktunya habis untuk belajar dan mengajar; melakukan syiar agama islam melalui berbagai pengajian, memberi contoh dengan perbuatannya dan menjadi imam di Masjid Wakaf dekat tempat tinggalnya. Beliau juga dikenal sebagai pribadi istiqamah, tegas memperjuangkan Amar ma’ruf nahi munkar, keras dan tidak pandang bulu, mengatakan yang benar itu benar dan salah itu salah. Sikap inilah yang membuatnya menjadi tokoh yang diperhitungkan. Sebaliknya, beliau menangis bila mengingat bahwa kelak kita akan menjadi penghuni kubur. Sebab umur kita pendek, dan hidup di dunia ini lebih banyak tipuan. Beliau juga dikenal sebagai orang yang luas ilmunya, sehingga menguasai permasalahan yang ada di masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, beliau sangat sopan dan dicintai banyak orang. Beliau memberikan teladan, sangat kuat amalannya, baik yang wajib maupun yang sunah.
Kemudian rombongan melanjutkan perjalanan ziarah ke makam wali mbah Nur Durya Bin Zahid di Pemalang.
Mbah Nur merupakan sosok yang sederhana. Lahir dengan nama Nur Durya Bin Zahid di Pemalang, Jawa Tengah, pada tahun 1873, dia memilih tinggal di tempat yang sunyi dan jauh dari keramaian, yaitu di pinggir sungai yang berada di tengah-tengah area persawahan. Dalam berdakwah di Desa Walangsanga, Mbah Nur giat mengajak para warganya untuk zikir berjemaah.
Tak hanya itu, Mbah Nur juga dikenal kuat menjaga wudhunya. Dia rela tidak tidur sepanjang malam untuk bermunajat kepada Allah SWT dan mendoakan orang-orang di sekelilingnya agar mendapat rahmat dan ampunan dari yang kuasa.
Tak hanya di desanya, Mbah Nur juga dikenal oleh para peziarah yang datang dari seluruh penjuru nusantara. Pada saat menjelang Bulan Sya’ban, banyak warga Nahdlatul Ulama (NU) yang berziarah ke makamnya. (Fuhum/Hms)