gagasan

Category

Achmad Muchamad Kamil Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Walisongo Semarang   Topik ihwal sastra, santri, dan narasi nasionalisme ini merupakan topik yang cukup lekat dengan kita kini. Mengingat beberapa waktu ini terdapat perayaan Hari Santri, Sumpah Pemuda, serta Hari Pahlawan. Rangkaian momen beruntun nan apik ini kiranya perlu ditelisik melalui sudut pandang yang berbeda,...
Read More
Eko Widianto (Dosen Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing, UIN Walisongo Semarang)   Bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang lahir kemarin sore. Bahasa ini memiliki sejarah panjang yang selaras dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam konteks sejarah, bahasa Indonesia diklaim lahir bersamaan dengan Sumpah Pemuda, yang berlangsung pada Kongres Pemuda ke-II, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada...
Read More
Imam Taufiq (Guru Besar Ilmu Tafsir Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang) Dinamika Covid-19 begitu cepat dan menyejarah. Virus yang tak terlihat mampu memporak-porandakan peradaban dunia. Pandemi telah merubah tatanan dunia di berbagai aspek kehidupan, tidak hanya struktur sosial masyarakat, politik atau kenegaraan akan tetapi merambah pada aspek tradisi, budaya dan nilai keagamaan yang selama hidup...
Read More
[:id]

Tindakan pemerintah membubarkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) patut didukung. Berbagai aksi HTI yang mempromosikan khilafah dengan dalih untuk tegaknya NKRI merupakan gejala yang perlu diwaspadai. HTI berkeyakinan bahwa Indonesia akan jaya jika khilafah ditegakkan. Berbagai alasan diajukan. Namun, perlu ditegaskan bahwa jika khilafah tegak maka NKRI jelas akan runtuh. Mengapa? NKRI menyaratkan kesatuan. Kesatuan menyaratkan ideologi, sebuah ide yang disepakati sebagai fondasi yang menopang tatanan kesatuan itu. Sejarah Indonesia modern membuktikan bahwa yang bisa menyatukan bangsa ini adalah Pancasila bukan agama. Memang agama menyeru dengan keras pentingnya persatuan. Tapi faktanya pada saat agama turun di bumi, persatuan sulit diwujudkan. Dalam intern agama saja terdapat firqah-firqah dan mazhab-mazhab. Persatuan beda agama lebih sulit lagi untuk diwujudkan dalam dunia nyata. Ini tentu bukan kesalahan agama, melainkan kesalahan manusia dalam menerapkan agama. Hanya para nabi yang mampu menerapkan agama sebagai pemersatu manusia. Mengapa? Karena para nabi dibimbing dan dijaga oleh Zat Pencipta Agama. Tapi para nabi itu kini telah tiada. Sementara manusia harus terus hidup membangun peradabannya. Itulah makanya, sangat bisa dimaklumi tindakan seorang rektor perguruan tinggi agama terbesar di Yogyakarta yang mengeluarkan himbauan agar  seluruh mahasiswanya tidak bergabung dengan organisasi yang anti-Pancasila dan anti-NKRI.

Akal sehat

Jika para nabi telah tiada, sementara manusia harus terus menata kehidupan bersamanya, apa yang harus dilakukan? Menata kehidupan bersama dengan akal sehat. Itulah yang harus dilakukan oleh manusia. Akal sehat akan mampu membimbing manusia untuk menemukan keluhuran dengan cara mempelajari dalil-dalil qauli (firman Tuhan) maupun dalil-dalil kauni (alam seisinya termasuk sejarah peradaban umat manusia). Keluhuran itu kemudian menjadi cita-cita bersama. Ia menjadi idealitas bersama. Itulah makanya ia disebut dengan ideologi, sebuah sistem berpikir yang diyakini terbaik dan paling relevan untuk diperjuangkan. Sekumpulan manusia yang tidak memiliki ideologi tidak akan lama menjadi sekumpulan. Ia akan tercerai berai. Manusia yang tercerai berai akan sulit membangun peradabannya.

Peradaban Indonesia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, merupakan hasil rajutan para pendahulu selama ribuan tahun. Manusia Indonesia modern tidak bisa mengingkarinya. Bagaimana bisa mengingkarinya, jika setiap hari ia masih merasakan tengkleng lebih nikmat dari roti, sop buntut lebih lezat dari kebab, garang asem lebih aduhai dari burger, dan nasi rendang lebih nendang dari nasi kebuli? Selama kita masih merasa lebih nikmat dengan kuliner Indonesia, maka sesungguhnya kita adalah orang Indonesia. Kita berhutang budi pada para pendahulu kita. Andai mereka tidak menemukan ribuan resep kuliner itu, tentu kita setiap hari hanya akan menyantap nasi putih atau campuran nasi dengan rajangan daging yang tanpa cita rasa.

Kemampuan meracik kuliner khas Indonesia itu diulang oleh manusia Indonesia generasi 1945 dengan menggali Pancasila. Putera terbaik bangsa ini telah memberikan percikan permenungan yang luhur dengan menemukan kembali falsafah bangsa. Mereka menyusuri lorong-lorong peradaban masa lalu dengan cermat. Sungguh rumit menangkap mutiara keluhuran yang telah tertimbun selama berabad-abad. Namun berkat kemampuan abstraksi filosofisnya, kemurnian hati dan pikirannya, untaian mutiara bisa diangkat kembali dan diberi nama Pancasila. Bung Karno pernah menyatakan bahwa Pancasila itu bisa diperas menjadi ekasila yaitu gotong royong. Berkat akar tunggang peradaban yang kuat itu, selama 7 dasawarsa lebih,  Pancasila terbukti mampu menjadi fondasi yang menyatukan bangsa Indonesia yang multi-sara (suku, agama, dan ras).

Bagi umat beragama, Pancasila merupakan intisari ajaran semua agama. Bagi umat Islam, Pancasila berakar pada filsafat politik Islam yakni al-Farabi (870-950). Menurut al-Farabi, negara yang paling baik adalah negara yang dipimpin oleh para nabi. Namun, karena jumlah nabi itu terbatas, maka negara yang paling baik adalah yang dipimpin oleh para filosof karena mereka mewarisi sifat kenabian yaitu cinta pada hikmah/kebijaksanaan. Jika para filosof tidak ada, maka negara yang paling baik adalah yang dipimpin oleh orang yang memiliki sifat filosof yaitu cinta pada hikmah/kebijaksanaan. Bandingkan dengan sila ke-4 Pancasila. Anda akan menjumpai benang merahnya. Bagi umat Islam, Pancasila merupakan kalimatun sawa’ (statemen sama) bagi seluruh anak bangsa. Ia adalah ajaran Islam yang dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami seluruh anak bangsa tanpa melihat latar belakang suku, agama, dan ras-nya. Tanpa ada kemasan yang bisa dipahami oleh semua orang, sehebat apapun isinya, jangan harap ada kesepakatan. Tanpa ada isyarat yang bisa ditangkap, sehebat apapun cinta Anda, jangan harap dia akan mencintai Anda!

Namun, jika generasi Indonesia pasca 1945 gagal dalam menerapkan Pancasila dalam kehidupan bersama yang nyata terutama dalam bidang ekonomi dan politik, kegagalan itu akan memicu gerakan yang meragukan Pancasila. Beberapa gelintir manusia Indonesia baru menggugat relevansi Pancasila setelah tidak mereka temukan Pancasila dalam kehidupan nyata bahkan dalam wujudnya yang paling sederhana, yakni gotong royong.

 

Jalan Tengah

Mengapa Pancasila bisa menyatukan bangsa? Karena ia adalah jalan tengah. Pancasila tidak berdiri pada titik ekstrim kiri (sosialis), tidak pula berada pada titik ekstrim kanan (kapitalis). Pancasila menghormati hak-hak individu tapi pada saat yang sama dalam hak individu itu terdapat hak-hak sosial. Perpaduan antara individualisme dan sosialisme itulah Pancasila.  Tentu ini bukan pemikiran baru. Para guru bangsa telah merumuskan hal ini. HOS Tjokroaminoto, misalnya, menggariskan perpaduan ini dengan sangat tegas dalam karyanya yang monumental tentang sistem kemasyarakatan yang sosial-religius bersendikan demokrasi.

Dalam bidang ekonomi, Pancasila mengajarkan bahwa yang kuat harus melindungi yang lemah.  Mengapa? Karena gotong royong tidak pernah membebani manusia diluar batas kemampuannya. Yang kuat akan menyumbang lebih besar agar suatu pekerjaan terlaksana dengan baik. Yang lemah dibolehkan menyumbang sekedar tenaga karena memang hanya itu yang mereka punya. Bahkan bagi orang tua jompo, hanya diminta doa restunya agar pekerjaan selesai dengan selamat. Itulah gotong royong. Darimana ajaran semacam itu berasal? Bung Hatta secara tegas menyatakan bahwa itu dari ajaran agama. Gotong royong merupakan kebaikan. Sumber dari segala kebaikan adalah Tuhan Yang Maha Esa. Agama mengajarkan bahwa manusia tidak boleh dilihat dari kekayaannya. Manusia harus dilihat dari kebaikannya, dari ketakwaannya. Prinsip gotong royong mengajarkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan (UUD 1945 Ps 33 ayat 1). Layaknya sebuah keluarga besar, seorang kakak tidak boleh nakal pada sang adik, sebaliknya sang adik tidak boleh kurang ajar pada sang kakak. Tidak boleh seorang kakak menindas sang adik. Singkat kata, hubungan kakak adik haruslah berdasar atas prinsip saling melindungi, saling membantu, dan saling menghormati. Pelanggaran atas prinsip ini akan memicu ketidakpercayaan antara satu dengan yang lain. Jika pelanggaran terjadi, negara sebagai bapak harus menegur yang keliru dan memberi penghargaan pada yang benar. Bapak tidak boleh nurut pada yang keliru walaupun itu dilakukan oleh anak terbesar. Bapak juga tidak boleh disetir oleh anak yang terbesar walaupun anak itu bernafsu dan mampu untuk itu. Dalam konteks ekonomi ini pula, Bung Hatta berusaha keras meyakinkan pada kita bahwa sistem ekonomi yang cocok bagi Indonesia adalah ekonomi Pancasila bukan sistem ekonomi kapitalisme. Mengapa? Ekonomi kapitalisme berbasis pada filosofi individualisme. Sementara masyarakat Indonesia berbasis pada kolektivisme.

 Dalam bidang politik, Bung Hatta menegaskan bahwa demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia bukanlah demokrasi ala Barat melainkan demokrasi khas Indonesia (Pidato Bung Hatta dalam Peringatan lahirnya Pancasila di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta, 1 Juni 1977). Demokrasi itu bisa dijumpai di pedalaman desa pada saat masyarakat desa mengurus jenazah atau membangun tempat ibadah. Pada acara-acara itu yang didaulat menjadi pemimpin bukanlah yang paling berduit, bukan pula yang paling popular, melainkan yang paling bijak diantara mereka. Yang paling bijak itu rata-rata adalah yang paling mumpuni (kompeten), paling berilmu/pengalaman, dan paling saleh. Bung Hatta menyebut demokrasi macam itu sebagai demokrasi Pancasila. Walaupun terdidik di Barat, guru-gurunya orang Barat, pikirannya diisi dengan teori Barat, tapi Bung Hatta tidak mau Indonesia dibangun atas fondasi pikiran/teori Barat. Baginya demokrasi Barat berangkat dari pengalaman hidup individualisme. Demokrasi yang dibangun dari filosofi individualisme akan menjadi demokrasi liberal. Demokrasi liberal tidak akan mampu mewujudkan tradisi luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa? Karena dalam demokrasi liberal, yang terpilih bukanlah yang paling bijak melainkan yang paling kuat modal kampanyenya.

Kembali pada Pancasila

Permasalahan Indonesia sejak merdeka adalah bagaimana merealisasikan Pancasila yang lebih merupakan filsafat politik ke dalam dunia nyata. Thompson menyatakan filsafat politik itu membahas apa yang seharusnya (alam ideal), sementara ilmu politik itu membahas apa yang terjadi (dunia riil) (Mel Thompson, Understand Political Philosophy, 2010: 3). Gap yang terlalu lebar antara keduanya akan memicu keinginan untuk pindah ke lain hati. Mungkin sebagian orang mulai berpikir, jangan-jangan memang Pancasila yang tidak bisa diterapkan karena terlalu ideal.

Saya meyakini Pancasila bukanlah filsafat politik yang tidak bisa diterapkan dalam riil politik. Pancasila bisa diterapkan bahkan dalam semua aspek kehidupan yang dulu dikenal dengan IPOLEKSOSBUDHANKAM. Bahkan Pancasila bisa diterapkan dalam IPOLEKSOSBUDHANKAMLING (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan lingkungan). Persoalan Indonesia pascareformasi bukanlah persoalan utopisnya Pancasila, melainkan terlalu lemahnya konsistensi kita untuk menjalankan Pancasila. Amandemen yang sudah empat kali terhadap UUD 1945 ternyata belum bisa mendekatkan Pancasila dari alam ideal menuju alam riil. Dalam bidang politik, amandemen itu melahirkan kepemimpinan yang genit. Goyangannya heboh tapi sumbangan pada kesejahteraan rakyat masih sedikit. Dalam bidang ekonomi, sistem ekonomi semakin kapitalistik. Yang kaya semakin kaya yang miskin semakin sulit. Ini sudah cukup menjadi bukti bahwa mengabaikan implementasi Pancasila, hanya akan menghasilkan petaka. Generasi dari generasi memiliki tugas yang abadi dalam mengimplementasikan Pancasila ini. Generasi 1928 hingga 1945 telah menggali Pancasila dan memerdekan Indonesia. Generasi 1945-1980 telah berhasil menerapkan Pacasila yang secara relatif sukses. Generasi 1980-sekarang, generasi milenial, bertugas melanjutkan implementasi itu sesuai dengan konteks milenialnya.

Peran Generasi Milenial

Berbicara tentang generasi milenial tidak bisa dilepaskan dari teori generasi. Berbicara tentang teori generasi tidak bisa dilepaskan dari Karl Mannheim (1893-1947M), sosiolog berkebangsaan Hongaria. Pada tahun 1923 melalui esainya berjudul The Problem of Generation, ia menyebut bahwa manusia cenderung saling memengaruhi dan membentuk karakter yang sama karena melewati sosio-sejarah yang sama. Itulah teori generasi. Teori Mannheim ini kemudian dikembangkan oleh para sosiologi AS dengan membagi manusia menjadi beberapa generasi:

  • 1- Generasi Era Depresi (Perang Dunia I)
  • 2- Generasi PD II
  • 3-Generasi Pasca PD II
  • 4-Generasi Baby Boomer(lahir sebelum 1960)
  • 5-Generasi X ((tahun kelahiran 1961-1980), perang dingin, gejolak dunia, kenal computer).
  • 6- Generasi Y (Milenial, tahun kelahiran 1980-1990), transisi dari alat manual ke digital, dan kemunculan internet)
  • 7-Generasi Z (anak yang lahir 1990-2010, generasi yang begitu lahir sudah menikmati internet yang dahsyat, gila serba instan).
  • 8-Generasi Alpha (tahun kelahiran 2010-sekarang, gila inovasi).

Generasi Milenial berbeda dengan generasi Z dan Alpha. Mienial adalah sesuatu yg terkait dengan milenium. Milenium adalah bilangan untuk tiap jangka waktu 1000 tahun dalam kalender. Maka, generasi milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1980-1990 sehingga akrab dengan internet tapi juga menjumpai zaman pra internet. Generasi milenial (generasi setengah-setengah) masih menikmati era sebelum internet dan sesudah internet. Sementara generasi Z  dan Alpha hanya menikmati 1 era yakni kemajuan internet yang dahsyat (netflix, virtual reality, video games). Proporsi generasi milenial saat ini (2018) mencapai sekitar 34,45 persen dari total penduduk Indonesia.

Generasi milenial memiliki karakteristik tersendiri. Generasi ini akrab dengan komunikasi, media, teknologi digital, dan internet. Generasi ini cenderung liberal dalam politik dan ekonomi. Mereka suka bersikap terbuka dan demokratis. Mereka sangat kreatif dan inovatif. Mereka mendapatkan pasokan informasi melimpah, tapi validitas cenderung diabaikan. Akibatnya, mereka suka yang serba cepat (instan) walaupun akurasi rendah. Hal yang amat sulit mereka hindari adalah globalisasi yang dalam beberapa aspek justru membahayakan mereka. Mereka bisa kehabisan waktu hanya untuk bersama gadget-nya, tanpa sempat bergaul secara normal dengan dunia nyata di sekitarnya.

Bagi generasi milenial, Pancasila barangkali kurang menarik dan terlalu abstrak. Bisa jadi, Pancasila agak sulit dipahami secara tuntas dan mendalam. Penyebabnya adalah: (1).  Pembelajaran tidak tuntas sehingga generasi baru tidak menangkap struktur kemasukalannya (plausibility structure). (2). Pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari dan kenegaraan tidak konsisten sehingga tak ada uswah (contoh nyata). Inti dari Pancasila itu adalah jalan tengah, tidak ada ekstrem kiri maupun kanan baik dalam politik (komunisme vs fundamentalisme) maupun ekonomi (sosialisme vs kapitalisme).

Generasi milenial perlu membangun komitmen berpancasila lebih keras di tengah godaan ideologi global yang  cenderung menipu. Mengapa menipu? Jika betul ideologi global itu ditiru Indonesia yang terjadi bukanlah kebahagiaan melainkan kesengsaraan bersama. Lihatlah Saudi Arabia, Syria, Iraq, dan Afganistan. Apakah Indonesia kita yang Indah dan kaya ini akan dibangun seperti itu? Penduduknya tidak memiliki kebebasan hakiki, kerukunannya bukan kerukunan hakiki. Para petinggi Afganistan pernah mengeluh ke Presiden Jokowi, bahwa mereka ingin seperti Indonesia. Indonesia terdiri dari 1300 suku tapi semuanya rukun. Sementara Afganistan terdiri dari 3 suku tapi susah diajak rukun.

Generasi milenial perlu membangun keyakinan yang final untuk kembali pada jati diri bangsa yang bernama Pancasila. Mereka perlu menangkap filosofi Pancasila secara tuntas. Mereka juga perlu mempromosikan secara luas nilai  filosofisnya dengan ICT agar mudah dipahami. Mereka perlu mempraktikkan Pancasila dalam laku hidup sehari-hari mulai dari diri sendiri, lingkungan sekitar, dan policy kenegaraan. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah peran mereka dalam mengawal secara pasti agar negara ini dipimpin oleh orang yang berhikmah dengan cara pemilihan yang berhikmah juga.

Banyak hal yang bisa dilakukan generasi milenial dalam mengimpementasikan Pancasila. Generasi milenial menyukai sesuatu yang nyata, maka Pancasila perlu dilaksanakan secara nyata dalam kegiatan yang nyata pula baik dalam lingkup kecil, kelompok, maupun policy kenegaran. Generasi milenial pastilah sangat menunggu bukti nyata pelaksanaan Tri Sakti Bung Karno dalam Indonesia yang nyata yakni kemandirian ekonomi, kekokohan budaya, dan kedaulatan politik. Generasi milenial menyukai gadget dan medsos. Pancasila perlu dipromosikan dengan itu. Generasi milenial sangat suka dihargai eksistensinya, Pancasila perlu dikemas dalam bentuk pemberian penghargaan bagi mereka yang berkomitmen Pancasila. Generasi milenial suka dengan dialog dan narasi yang ringan dan santai. Pancasila perlu dinarasikan secara simple dan menyenangkan.

Jika Pancasila bisa dijumpai di semua ruang dan waktu keindonesiaan kita, pastilah NKRI utuh. Mengapa? Karena kita menjalankan DNA kita. Pancasila adalah DNA kita[]

[:]
[:id]

Setiap datang hari kemerdekaan, seluruh masyarakat Indonesia tanpa melihat latar belakang etnis, budaya, dan agamanya mengadakan peringatan kemerdekaan dan memanjatkan doa syukur. Peringatan dilakukan dengan mengadakan berbagai acara lomba yang menghibur untuk mengungkapkan rasa suka cita yang tinggi. Walaupun kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, kenyataannya bangsa Indonesia sangat bersusah payah untuk mendapatkannya. Jutaan nyawa harus melayang, ratusan peperangan harus terjadi, dan tak terbilang harta kekayaan bangsa ini dijarah bangsa lain dengan cara keji. Ungkapan kegembiraan masyarakat terlihat setiap menjelang tanggal 17 Agustus dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Tradisi itu telah berjalan turun-temurun. Sepanjang Indonesia masih ada, generasi baru Indonesia akan terus menjaganya. Mungkin rasa suka cita kemerdekaan sedikit berbeda antara generasi 1945 dengan generasi sesudahnya apalagi dengan generasi millenial, namun laku masyarakat menjelang kemerdekaan akan menjadi wahana efektif bagi proses transfer rasa cinta kemerdekaan. Lama-lama generasi baru Indonesia akan bisa mengerti arti penting perjuangan nenek moyangnya agar anak cucunya bisa menghirup udara kemerdekaan. Peristiwa-peristiwa yang dialami bangsa Pelestina yang masih terjajah dan sebagian bangsa lain yang masih penuh gejolak akan membuat generasi baru Indonesia mampu bersyukur atas nikmat kemerdekaannya.

Para pendiri bangsa sangat menyadari adanya keterlibatan pertolongan Allah dalam semua proses menuju kemerdekaan. Itulah makanya, pembukaan UUD 1945 menyatakan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Rumusan yang dihasilkan oleh Panitia Sembilan itu kemudian ditetapkan sebagai Pembukaan UUD 1945 oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Rumusan itu benar-benar merupakan cerminan suasana batin bangsa Indonesia dalam menghayati perjalanan panjang menuju gerbang kemerdekaan.

Berkah Allah untuk negeri ini yang amat besar terlihat pada anugerah-Nya yang berupa putera dan putri terbaik bangsa ini. Allah memunculkan pahlawan-pahlawan yang di dalam jiwanya tumbuh jiwa keulamaan dan kepahlawanan. Laksamana Malahayati, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Bung Karno, Bung Hatta dan masih banyak lagi ribuan nama baik yang dikenal maupun tidak dikenal, baik yang diberi gelar pahlawan maupun yang tidak bergelar, baik yang dimakamkan di taman makam pahlawan maupun di pemakaman umum, semuanya adalah pemahat NKRI. Selama NKRI berdiri dan memberikan keamanan dan kenyamanan bagi warganya, maka amal jariah mereka akan terus mengalir. Kisah-kisah mereka amat mencengangkan.

Kisah keulamaan dan kepahlawanan para pengukir NKRI sungguh amat kaya. Laksamana Malahayati, misalnya, merupakan contoh Srikandi sejati Indonesia dari Aceh. Ketaatan pada agamanya dan kedalaman keislamannya telah mendorongnya untuk melanjutkan perjuangan suaminya dalam membela tanah air. Suaminya gugur syahid saat perang melawan penjajah. Ia tidak larut dalam duka berkepanjangan. Sepeninggal suaminya ia bermunajat kepada Allah dengan khusyuk. Allah memberikan keketapan hatinya untuk berjuang melawan Portugis dan Belanda demi kemerdekaan. Ia menggalang pasukan yang terdiri dari para janda korban perang. Pasukannya diberi nama Inong Balee (Janda Para Syahid) yang berjumlah 2000 personil. Kodratnya sebagai wanita tidak menghalanginya untuk maju ke medan laga. Pada tanggal 11 September 1599, pasukannya bertempur di lautan Aceh melawan pasukan Belanda dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Houtman adalah nama beken bagi pasukan Belanda. Dialah orang pertama Belanda yang mampu menaklukkan Batavia. Tapi prestasinya itu dihabisi oleh Malahayati. Pada saat dia mampu menghancurkan banyak kapal pasukan Malahayati, Malahayati tidak kurang siasat. Ia berenang sendirian dan menyelinap ke kapal Houtman. Akhirnya ia bisa menemui Houtman di atas geladak kapal. Ia tantang Houtman untuk bersikap ksatria dan berani bertempur satu lawan satu saat itu juga. Houtman menyanggupinya. “Ini hiburan gratis,” pikirnya. Terjadilah pertempuran sengit bersenjatakan pedang. Houtman salah perhitungan. Malahayati yang dia duga akan mampu dia taklukkan dalam hitungan menit ternyata mampu melayani permainan pedangnya bahkan membuatnya keteteran. Panglima angkatan perang Belanda yang terkenal itu akhirnya terkapar di ujung pedang Malahayati pada 11 September 1599 tanpa sempat minta ampun.

Sama halnya dengan Laksamana Malahayati, KH. Ahmad Dahlan merupakan anugerah nyata bagi Indonesia. Ia mampu menumbuhkan cara berislam yang menghidupkan bukan yang mematikan. Organisasi Muhammadiyah yang didirikannya pada 18 November 1912 mampu menjadi motivator para pemuda terjajah untuk berani menentukan sikap dan melawan penjajah. Kesalehan sosial yang ia gali dari Surat al-Ma’un ayat 1-7 telah mengantarkan masyarakat mampu mengorganisir dirinya dalam mewujudkan layanan sosial dalam bidang kesehatan dan pendidikan. KH. Ahmad Dahlan telah membangun tiang penyangga bagi NKRI terutama dalam mewujudkan kehidupan umat Islam Indonesia yang berkemajuan. Terdapat 50 juta masyarakat Indonesia yang meneruskan garis perjuangannya.

Anugerah lain yang dimiliki Indonesia adalah KH. Hasyim Asy’ari. Ulama yang memiliki visi kebangsaan mendalam ini mampu menumbuhkan cara berislam yang penuh welas asih dan inklusif terutama kepada masyarakat kecil. Cara berislam seperti yang dicontohkannya itu merupakan salah satu perwujudan nyata dari ungkapan Bung Karno dalam rumusan awal Pancasilanya yakni Ketuhanan Yang Berkebudayaan saat berpidato 1 Juni 1945. Dalam sebuah kesempatan, KH. Hasyim memberi nasihat, “Manusia harus bersatu, agar tercipta kebaikan dan kesejahteraan, dan agar terhindar dari kehancuran dan bahaya. Jadi, kesamaan dan keserasian pendapat mengenai penyelesaian beberapa masalah adalah prasyarat terciptanya kemakmuran” (Latif, 2017: 45). Visi keislaman yang inklusif itu kemudian dilanjutkan oleh cucunya yang pernah menjadi Presiden keempat RI, Gus Dur. Dalam ungkapannya yang populer, ia berkata: “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Visi yang demikian itu menjadi penopang berdirinya negeri Muslim terbesar di dunia ini melalui organisasi bentukan KH. Hasyim Asy’ari pada 31 Januari 1926 yang bernama Nahdhatul Ulama (NU). Resolusi jihad NU tanggal 22 Oktober 1945 adalah bukti nyata kekokohan NU sebagai pilar penyangga NKRI hingga mampu membuat tentara sekutu yang diboncengi tentara NICA gentar. Cara berislam yang dibenihkan KH. Hasyim Asy’ari itu merupakan aset penting NKRI dan terus akan dilanjutkan oleh lebih dari 90 juta para penerusnya.

Menyadari begitu besarnya anugerah Allah pada proses pencapaian kemerdekaan, Bung Karno selalu menekankan pentingnya bermunajat untuk menjalankan sesuatu yang besar. Dalam tradisi keulamaan, munajat merupakan hal yang lazim dilakukan. Ibn Katsir dalam tafsirnya menyebut bahwa Allah sangat dekat dengan manusia. Oleh karena itu, untuk memanggilnya cukup dengan bermunajat. Munajat berarti berbicara secara rahasia karena jarak yang amat dekat. Ini berbeda dengan munada (seruan). Munada berarti berbicara jarak jauh. Saat turun QS. Al-Baqarah 186, seorang Arab Badui bertanya, “Wahai Rasulullah? Allah itu dekat hingga kami bisa berbisik atau jauh hingga kami harus memanggil-Nya?” Allah mengetahui pertanyaan itu kemudian menurunkan ayat yang memastikan bahwa Allah itu sangat dekat.

Saat didesak para pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan menyusul penyerahan Jepang pada Sekutu, Bung Karno menolak. Bung Karno bersikukuh bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah untuk satu atau dua hari melainkan untuk selama-lamanya. Maka proklamasi harus dilakukan pada hari yang baik. Itulah hasil bermunajatnya pada Allah, laku ritualnya, hasil doanya secara khusuk dan penuh tawadhuk. Dalam penuturannya pada Cindy Adams, Bung Karno menuturkan, “…Tujuh belas adalah angka yang suci. Tujuh belas adalah angka keramat. Pertama-tama, kita sedang berada di bulan suci Ramadhan…Hari Jumat ini Jumat Legi. Jumat yang manis. Jumat suci. Dan hari Jumat tanggal 17. Al-Quran diturunkan tanggal 17. Orang Islam melakukan sembahyang 17 rakaat, bukan 10 atau 20? Karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia. Ketika aku pertama kali mendengar berita penyerahan Jepang, aku berpikir kita harus segera memproklamasikan kemerdekaan. Kemudian aku menyadari, adalah takdir Tuhan bahwa peristiwa ini akan jatuh di hari keramat-Nya (Latif, 2017: 32).

Marilah kita bermunajat! Kita perlu mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya untuk memanjatkan doa agar kemerdekaan kita abadi. Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 merupakan rahmat Allah yang amat besar. Ia adalah hasil perjuangan panjang. Banyak duka dan nestapa yang mendahuluinya. Doa-doa para ibu yang kehilangan putra harapannya sungguh didengar Allah. Cucuran keringat dan darah pejuang sungguh tidak pernah sia-sia. Bung Karno pernah mengaku bahwa ia mendapat pesan dari seseorang yang esok harinya akan dihukum mati. Pesannya amat menyayat hatinya. Orang itu berharap agar kematiannya tidak sia-sia. Ia meminta agar perjuangannya terus dilanjutkan. "Versi singkat tulisan ini pernah dimuat Suara Merdeka, 10 Agustus 2018"

[:]
[:id]

Perjalanan bangsa ini dipenuhi dengan keberuntungan. Banyak yang tidak masuk akal tapi karena beruntung, jadilah itu kenyataan. Mengusir Belanda yang digdaya dengan senjata apa adanya adalah tidak masuk akal. Bambu runcing membungkam meriam adalah tidak masuk akal. Melawan tentara NICA yang mendarat di Surabaya dengan persiapan dan persenjataan yang alakadarnya sungguh tidak masuk akal. Bahkan menyatukan Sabang sampai Merauke dengan hanya bermodalkan niat dan rasa senasib adalah hal yang tidak masuk akal. Mengapa bisa terjadi?

Bangsa ini memang dipenuhi ketidakmasukalan. Dijajah Belanda sepanjang 350 tahun tapi tetap bertahan dan melawan adalah sebuah ketidakmasukakalan yang nyata. Dikuras habis kekayaan alamnya oleh penjajah tanpa ampun, tetap saja kaya sumber daya alamnya (SDA). Setelah merdeka pun, dijual murah SDA-nya oleh para pemimpinnya juga masih kaya. Ketidakmasukakalan masih terus berlanjut hingga masa reformasi. Rupiah runtuh hingga titik termurah, tetap saja bangsa ini berjalan. Rakyatpun menganggap itu bukan persoalan. Uang negara dikorupsi dengan serakahnya, tetap saja rakyat tidak bisa menghentikan. Fasilitas publik dikelola dengan amatiran, rakyat tak mempedulikan. Banyak pemimpin lebih bermodalkan uang daripada kepandaian, rakyat malah menyambutnya dengan penghormatan. Dana kampanye yang tidak seimbang dengan gaji resmi, tetap saja banyak yang minat mencalonkan diri. Bahkan di era kebebasan informasi seperti sekarang, mana pahlawan mana pengkhianat, semua tergantung pada permainan kemasan. Aneh! Namun, bangsa ini tetap tegak berdiri.

Keberuntungan

Bangsa ini selalu diliputi keberuntungan. Perjalanan bangsa ini membuktikan itu. Mengapa? Karena dalam tanah bangsa ini banyak dikebumikan jasad orang baik. Orang yang pada masa hidupnya memiliki niat baik, keinginan luhur, untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi anak cucunya. Mereka tanpa dibayar, tanpa dipuji, dan tanpa diliput media, terus berkarya dengan segala kemampuan dan keterbatasannya untuk mewujudkan cita-cita luhur itu. Lihatlah Diponegoro, Pattimura, Cut Nyak Dien, Kartini, Bung Karno, Bung Hatta dan masih banyak lagi.

Bangsa ini beruntung memiliki orang semacam Bung Hatta. Pria sang kutu buku ini memiliki wawasan filosofis yang amat dalam. Pernahkah anak bangsa ini merenungkan pergulatan batinnya agar bangsa ini terus tegak berdiri? Perenungannya yang mandalam dan pengalamannya yang panjang dalam memperjuangkan kemerdekaan sejak masih mahasiswa di Belanda hingga pulang ke tanah air mengantarkannya menemukan setitik cahaya bahwa bangsa ini harus diarahkan pada upaya mewujudkan kebaikan bersama. Dari mana nilai kebaikan bersama itu berpangkal? Dari Tuhan Yang Maha Esa. Maka bangsa ini harus berjalan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sumber segala kebaikan. Berkat perenungannya itulah ia merumuskan Pasal 33 dan 34 UUD 1945 yang bersumber dari ajaran ketuhanan yang diyakininya. Tanpa keinginan dipuji apalagi dipilih rakyat untuk menjadi pejabat tinggi, ia merumuskan koperasi dan menjalankannya. Sudahkah para perumus Amandemen UUD 1945 mengikuti jejaknya? Sudahkah mereka cukup merenung sebelum menuliskan pasal amandemen?

Bangsa ini juga beruntung memiliki orang-orang baik yang tak sempat terekam sejarah. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari yang tercatat. Pernahkah anak bangsa ini menghayati bagaimana seorang ajudan Presiden Soekarno harus menyelamatkan Bendera Poesaka yang dikibarkan di Jalan Pegangsaan Timur pada 17 Agustus 1945 itu? Dialah Husein Muthahar. Saat Bung Karno harus hijrah ke Yogyakarta demi keselamatan pemerintahan, dialah yang ditugasi Bung Karno untuk menyelamatkan Bendera Poesaka itu dengan nyawanya dan harus dikembalikan pada Bung Karno dengan selamat. Apa yang dilakukannya? Ia harus sembunyi dan menghindar dari sweeping pasukan Belanda. Namun akhirnya tertangkap juga. Saat ditangkap dan ditahan di Semarang, ia memegang teguh amanat Bung Karno. Untuk menghindari penyitaan, ia terpaksa harus memisahkan bagian merah dan putih dari bendera itu. Selamatlah Bendera Poesaka itu dari rampasan. Dia melarikan diri dari tahanan dan menuju Jakarta melalui laut. Sesampainya di Jakarta ia menjahit kembali dengan tangannya agar Bendera Poesaka bisa berwujud bendera untuk diserahkan pada Bung Karno yang saat itu ditahan di Muntok. Berkat orang baik inilah Bendera Poesaka selamat dari sitaan. Husein Muthahar tidak pernah mau disebut pahlawan. Bahkan sebelum wafat, dia berpesan agar tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Ia ingin wafat sebagai rakyat biasa dan dikubur bersama rakyat biasa. Memang, anak bangsa ini masih mengenang namanya berkat lagu Syukur yang ia ciptakan. Namun tidak banyak yang mengenal keihlasannya pada bangsa ini.

Bangsa ini juga beruntung memiliki falsafah yang mendalam yang dibangun dari pengalaman hidup ribuan tahun. Ajaran gotong-royong, asah-asih-asuh, digelar-digulung, dan mulur-mungkret merupakan percikan permenungan yang luhur yang tak dijumpai pada bangsa lain. Ajaran mulur-mungkret, misalnya, mengajarkan bahwa jadi manusia harus memiliki fleksibilitas tinggi. Ajaran ini mungkin diambil nenek moyang kita dari tumbuh-tumbuhan hijau yang banyak tumbuh di negeri zamrud khatulistiwa ini. Ajaran ini menganjurkan kita untuk meniru sifat tumbuhan yang selalu menemukan jalan untuk menggapai sinar matahari. Tumbuhan yang tertutup sesuatu dia akan membelokkan dahannya untuk bisa tetap hidup. Inilah yang membuat bangsa ini tetap tahan banting walaupun digencet bangsa lain ratusan tahun. Ajaran ini pulalah yang sadar atau tidak, telah mendorong anak bangsa ini selalu menemukan jalan keluar walaupun dalam himpitan yang menyulitkan. Seorang warga negara Jepang mengaku walaupun negaranya maju, ia lebih suka tinggal di negeri ini. Mengapa, di negerinya bila seseorang telah menentukan satu tujuan, sementara ia menjumpai jalan buntu, maka ia hanya akan menjumpai satu hal yaitu kegagalan. Sementara di negeri ini, saat kegagalan mengancam, selalu ada jalan alternatif. Selalu ada jalan tikus di negeri ini. Dunia elektronik dan dunia mesin sangat mengenal cara berpikir alternatif ini. Untuk membuat suatu alat bisa hidup, Anda bisa menggunakan suku cadang orisinal. Tapi bila tidak mungkin, alat itu bisa dicarikan suku cadang KW atau bajakan. Bila tidak bisa juga, alat itu bisa di-bandrek. Ini sebuah keberuntungan.

Diberkati

Dalam hidup ini, saya meyakini bahwa orang baik selalu beruntung, cepat atau lambat. Melihat silang sengkarut para politisi Indonesia kini dan permainan akrobat yang mencederai akal sehat, saya sebagai anak bangsa yang mempelajari sejarah dan falsafah bangsa ini, berseru hentikanlah permainan. Semua akal bulus dan permainan busuk tidak akan tegak di negeri ini. Mungkin permainan macam itu akan berjalan dan hidup beberapa saat, tapi tidak akan lama pasti runtuh. Becik ketitik, olo ketoro! (Perbuatan baik akan dikenang, perbuatan jelek akan terlihat). Bolehlah logika direkayasa dan hukum ditekuk sesuai kepentingan, tapi tanah bangsa ini tidak akan merelakan. Mengapa? Karena bangsa ini adalah bangsa yang diberkati. Mengapa diberkati? Karena bangsa ini dibangun dari mozaik keinginan luhur yang muncul dari orang-orang baik yang pernah lahir dari rahim tanah ini. Mereka mengindahkan Tuhan dalam cita-cita luhurnya. Maka, Tuhanpun memberkati cita-cita mereka. Siapa yang setia dengan garis perjuangan mereka, akan menuai bahagia. Siapa yang mencederainya pasti celaka. Mozaik cita-cita luhur para pendiri bangsa ini telah menjelma menjadi doa suci yang diberkati. Jangan sekali-kali anak bangsa ini mengkhianatinya. Mengkhianatinya berarti mengundang murka Tuhan. Bersiaplah menerima kutukan-Nya.

Muhyar Fanani, Dekan FISIP UIN Walisongo Semarang.

[:]
[:en]

Mencermati keadaan umat Islam Indonesia akhir-akhir ini, saya jadi teringat kembali sosok pemikir Neo-Modernisme Islam, Professor Fazlur Rahman Pemikir Islam asal Pakistan yang lama mengajar di Chicago University  ini sangat dikenal dan memiliki pengaruh luas di kalangan PTKI.Pemikirannya tentang Islam telah dikaji secara luas di UIN, IAIN dan STAIN serta PTKIS dan telah menelorkan ratusan karya akademik berupa skripsi, tesis maupun disertasi, termasuk artikel-artikel di banyak jurnal ilmiah.

Saya lupa-lupa ingat, apakah pada kunjungan pertamanya di Indonesia pada  tahun 1974, ataukah pada kunjungannya pada tahun 1985 bersama Professor Sherif Mardin dari Istambul, yang diundangan Pemerintah Indonesia untuk memberikan masukan bagi pengembangan IAIN-IAIN di Indonesia ketika itu.  Yang jelas,  Professor Fazlur Rahman pernah membuat pernyataan yang cukup mengejutkan. Ia melontarkan ramalannya secara optimistik bahwa kebangkitan Islam akan dimotori oleh umat Islam Indonesia. Kebangkitan Islam tidak muncul dari Timur Tengah, Eropa atau Amerika. Tetapi dari Indonesia.

Beberapa tahun setelahnya, dalam suatu forum diskusi di sebuah Kota di Amerika, ada seorang mahasiswa Indonesia yang belakangan menjadi tokoh penting Gerakan Dakwah di Republik ini yang menanyakan mengenai statemen Rahman tersebut. Apakah Rahman masih tetap memegangi ramalannya itu, ataukah telah merubahnya? Ternyata, dengan mantap Rahman menyatakan bahwa dia masih memegangi ramalan itu. Ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyenangkan sang penanya yang berasal dari Indonesia, tetapi didasarkan pada data-data yang handal.

Hanya Indonesia yang menurut Rahman memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor kebangkitan Islam.  Hanya Indonesia yang memiliki Ormas keagamaan Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang tidak fanatic  terhadap satu mazhab, tetapi menghormati berbagai pluralitas mazhab. Di Indonesia juga sangat banyak bermunculan sarjana muslim yang berpikiran maju, berpandangan modern dan progessif serta berkemampuan sangat baik dalam menghayati agamanya. Tidak hanya itu, mereka juga mendukung demokrasi, memiliki intensitas yang baik atas isu-isu HAM dan kesetaraan gender serta-isu-isu modern lainnya. Islamic scholarship yang seperti ini menjadi social capital yang sangat besar bagi Indonesia untuk menyadarkan dunia dari stagnasi berfikir dan “tidur panjang”nya, untuk kemudian sekali lagi bangkit memimpin peradaban dunia.

Kini,  setelah 30  tahun Fazlur Rahman meninggal (Rahman meninggal 26 Juli 1988), setelah mencermati kehidupan umat Islam Indonesia, setelah reformasi memberikan kebebasan kepada siapapun atasnama demokrasi untuk mengekspresikan pendapat dalam bingkai freedom of expression, khususnya setelah ada fasilitasi social media yang sangat dahsyat, wabil khusus setelah Pilpres 2014 dan dipertajam lagi setelah Pilgub DKI yang mampu menyihir umat Islam Indonesia menjadi terkotak-kotak dalam “bendera Islam” yang saling berhadapan. (Tampaknya, tahun 2018 ini dan 2019 semakin dahsyat).

Kini, setelah berbagai kelompok yang dipimpin oleh tokoh2, sebut saja “moslem scholars” saling berebut klaim kebenaran agama dan berusaha memonopolinya sembari menuding “kafir” atau “sesat” atas kelompok lain yang berbeda. Kini, setelah tafsir atas kebenaran agama berubah menjadi sejenis ilmu eksakta yang dibingkai melalui kemutlakan epistemology yang sangat positivistic dan tidak menyisakan ruang kemajemukan, saya jadi membayangkan, seandainya Fazlur Rahman ditanya kembali mengenai tesisnya itu.

Ya, seandainya Fazlur Rahman masih hidup, dan ditanyakan kembali kepadanya mengenai optimismenya tentang Indonesia, maka saya tidak terlalu yakin kalau dia masih konsisten dengan ramalannya itu. Karena Indonesia kini telah berubah. Islamic discourse dominan yang sehari-hari sangat luar biasa menyerbu ke ruang-ruang medsos masyarakat Indonesia kini adalah eksklusifisme agama, permusuhan, ideology kebencian, dan intoleransi. Melalui facebook, Instagram, WA, twitter, masyarakat Islam Indonesia sehari-hari diobok-obok, dibentur-benturkan dan digiring untuk memusuhi, membenci dan melawan pihak-pihak yang berbeda sembari dicomotkan secara serampangan teks-teks agama, berupa ayat Al-Qur’an atau teks-teks hadis yang dipahami secara sporadic dan seringkali “tidak bertanggung jawab”.  Tak jarang, untuk menghantam kelompok lain, konten-konten tentang agama dibumbui dengan hoax yang mengerikan.

Tidak jelas, apakah situasi ini didisain oleh invisible hand para pemegang “remote control” kekuasaan atau terjadi dengan sendirinya kemudian mereka “menungganginya” untuk kepentingan agenda-agenda kekuasaannya. Ataukah keduanya berjalan secara parallel. Yang pasti, situasi ini semakin complicated ketika bertemu dengan momentum-momentum politik.  Ketokohan para pemimpin agama  juga mengalami pergeseran luar biasa. Pemimpin-pemimpin muslim yang selama ini dikenal otoritatif  dan telah mapan, tiba-tiba tergeser oleh pemimpin-pemimpin baru yang dibesarkan melalui jalur selebritas baru, yakni youtube dan medsos.

Mulai ada gejala di media, Semakin keras orang berbicara, jika perlu dengan pekikan takbir  sembari memprovokasi, semakin dianggap layak sebagai pemimpin panutan. Ketika sebagaian besar masyarakat kita bergerak maju dan berorientasi ke depan (progressif) dalam membangun peradaban berdasarkan spirit Islam, ada sebagian dari sudara kita yang getol mempromosikan regresifisme dan formalism Islam. Formula generiknya adalah “ kembali kepada Qur’an dan Sunnah Nabi”  dalam maknanya yang letterlijk. Saudara kita ini meyakini sepenuhnya, Jika ingin berhasil mengembalikan kejayaan Islam, kita harus kembali kepada model masyarakat zaman  Nabi dan pemimpin-pemimpin Islam sesudahnya dengan sistem khilafah. Zaman Now harus dikembalikan pada Zaman Old. Meskipun perdebatan akademik mengenai hal ini sangat panjang, tetapi ini adalah kecenderungan2 baru Islam Indonesia pasca reformasi.

Arah baru perkembangan Islam di Indonesia ini sangat jelas berbeda haluan dengan arah Islam Indonesia yang dibayangkan oleh Fazlur Rahman 40 atau 30 tahun yang lalu. Rahman mungkin tidak memperkirakan lompatan Teknologi Informasi yang luar biasa merambah dan memasuki hampir seluruh bilik-bilik kehidupan muslim Indonesia. Melalui hand phone,  android dan gadget, informasi apa saja, termasuk informasi politik dan keagamaan, bisa masuk kapan saja secara leluasa hingga ke bilik-bilik mereka yang paling privat sekalipun.

Rasanya di negeri kita ini, inklusifisme, toleransi, kepercayaan terhadap demokrasi, penghargaan terhadap HAM dan isu gender, sebagaimana dibayangkan Rahman, sekarang ini sedang menghadapi tantangan dan ujian yang luar biasa. Jika eksklusifisme agama, rasa permusuhan, ideology kebencian, intoleransi dan provokasi tidak bisa dikelola, maka alih-alih menjadi pelopor kebangkitan Islam, kita justru akan menjadi beban berat bagi kebangkitan Islam. Apalagi jika agen-agen moderatisme Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta UIN, IAIN dan STAIN tidak segera mendefinisikan diri dan bersinergi melakukan perubahan haluan. Saya tidak bisa membayangkan seperti apakah Indonesia 10 tahun yang akan datang. Sudahkan NU, Muhammadiyah, UIN, IAIN, STAIN dana gen-agen moderatisme Islam lainnya berbuat maksimal? Ini yang kita tunggu. Wallahu a’lam.

[:id]

Mencermati keadaan umat Islam Indonesia akhir-akhir ini, saya jadi teringat kembali sosok pemikir Neo-Modernisme Islam, Professor Fazlur Rahman. Pemikir Islam asal Pakistan yang lama mengajar di Chicago University  ini sangat dikenal dan memiliki pengaruh luas di kalangan PTKI.Pemikirannya tentang Islam telah dikaji secara luas di UIN, IAIN dan STAIN serta PTKIS dan telah menelorkan ratusan karya akademik berupa skripsi, tesis maupun disertasi, termasuk artikel-artikel di banyak jurnal ilmiah.

Saya lupa-lupa ingat, apakah pada kunjungan pertamanya di Indonesia pada  tahun 1974, ataukah pada kunjungannya pada tahun 1985 bersama Professor Sherif Mardin dari Istambul, yang diundangan Pemerintah Indonesia untuk memberikan masukan bagi pengembangan IAIN-IAIN di Indonesia ketika itu.  Yang jelas,  Professor Fazlur Rahman pernah membuat pernyataan yang cukup mengejutkan. Ia melontarkan ramalannya secara optimistik bahwa kebangkitan Islam akan dimotori oleh umat Islam Indonesia. Kebangkitan Islam tidak muncul dari Timur Tengah, Eropa atau Amerika. Tetapi dari Indonesia.

Beberapa tahun setelahnya, dalam suatu forum diskusi di sebuah Kota di Amerika, ada seorang mahasiswa Indonesia yang belakangan menjadi tokoh penting Gerakan Dakwah di Republik ini yang menanyakan mengenai statemen Rahman tersebut. Apakah Rahman masih tetap memegangi ramalannya itu, ataukah telah merubahnya? Ternyata, dengan mantap Rahman menyatakan bahwa dia masih memegangi ramalan itu. Ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyenangkan sang penanya yang berasal dari Indonesia, tetapi didasarkan pada data-data yang handal.

Hanya Indonesia yang menurut Rahman memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor kebangkitan Islam.  Hanya Indonesia yang memiliki Ormas keagamaan Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang tidak fanatic  terhadap satu mazhab, tetapi menghormati berbagai pluralitas mazhab. Di Indonesia juga sangat banyak bermunculan sarjana muslim yang berpikiran maju, berpandangan modern dan progessif serta berkemampuan sangat baik dalam menghayati agamanya. Tidak hanya itu, mereka juga mendukung demokrasi, memiliki intensitas yang baik atas isu-isu HAM dan kesetaraan gender serta-isu-isu modern lainnya. Islamic scholarship yang seperti ini menjadi social capital yang sangat besar bagi Indonesia untuk menyadarkan dunia dari stagnasi berfikir dan “tidur panjang”nya, untuk kemudian sekali lagi bangkit memimpin peradaban dunia.

Kini,  setelah 30  tahun Fazlur Rahman meninggal (Rahman meninggal 26 Juli 1988), setelah mencermati kehidupan umat Islam Indonesia, setelah reformasi memberikan kebebasan kepada siapapun atasnama demokrasi untuk mengekspresikan pendapat dalam bingkai freedom of expression, khususnya setelah ada fasilitasi social media yang sangat dahsyat, wabil khusus setelah Pilpres 2014 dan dipertajam lagi setelah Pilgub DKI yang mampu menyihir umat Islam Indonesia menjadi terkotak-kotak dalam “bendera Islam” yang saling berhadapan. (Tampaknya, tahun 2018 ini dan 2019 semakin dahsyat).

Kini, setelah berbagai kelompok yang dipimpin oleh tokoh2, sebut saja “moslem scholars” saling berebut klaim kebenaran agama dan berusaha memonopolinya sembari menuding “kafir” atau “sesat” atas kelompok lain yang berbeda. Kini, setelah tafsir atas kebenaran agama berubah menjadi sejenis ilmu eksakta yang dibingkai melalui kemutlakan epistemology yang sangat positivistic dan tidak menyisakan ruang kemajemukan, saya jadi membayangkan, seandainya Fazlur Rahman ditanya kembali mengenai tesisnya itu.

Ya, seandainya Fazlur Rahman masih hidup, dan ditanyakan kembali kepadanya mengenai optimismenya tentang Indonesia, maka saya tidak terlalu yakin kalau dia masih konsisten dengan ramalannya itu. Karena Indonesia kini telah berubah. Islamic discourse dominan yang sehari-hari sangat luar biasa menyerbu ke ruang-ruang medsos masyarakat Indonesia kini adalah eksklusifisme agama, permusuhan, ideology kebencian, dan intoleransi. Melalui facebook, Instagram, WA, twitter, masyarakat Islam Indonesia sehari-hari diobok-obok, dibentur-benturkan dan digiring untuk memusuhi, membenci dan melawan pihak-pihak yang berbeda sembari dicomotkan secara serampangan teks-teks agama, berupa ayat Al-Qur’an atau teks-teks hadis yang dipahami secara sporadic dan seringkali “tidak bertanggung jawab”.  Tak jarang, untuk menghantam kelompok lain, konten-konten tentang agama dibumbui dengan hoax yang mengerikan.

Tidak jelas, apakah situasi ini didisain oleh invisible hand para pemegang “remote control” kekuasaan atau terjadi dengan sendirinya kemudian mereka “menungganginya” untuk kepentingan agenda-agenda kekuasaannya. Ataukah keduanya berjalan secara parallel. Yang pasti, situasi ini semakin complicated ketika bertemu dengan momentum-momentum politik.  Ketokohan para pemimpin agama  juga mengalami pergeseran luar biasa. Pemimpin-pemimpin muslim yang selama ini dikenal otoritatif  dan telah mapan, tiba-tiba tergeser oleh pemimpin-pemimpin baru yang dibesarkan melalui jalur selebritas baru, yakni youtube dan medsos.

Mulai ada gejala di media, Semakin keras orang berbicara, jika perlu dengan pekikan takbir  sembari memprovokasi, semakin dianggap layak sebagai pemimpin panutan. Ketika sebagaian besar masyarakat kita bergerak maju dan berorientasi ke depan (progressif) dalam membangun peradaban berdasarkan spirit Islam, ada sebagian dari sudara kita yang getol mempromosikan regresifisme dan formalism Islam. Formula generiknya adalah “ kembali kepada Qur’an dan Sunnah Nabi”  dalam maknanya yang letterlijk. Saudara kita ini meyakini sepenuhnya, Jika ingin berhasil mengembalikan kejayaan Islam, kita harus kembali kepada model masyarakat zaman  Nabi dan pemimpin-pemimpin Islam sesudahnya dengan sistem khilafah. Zaman Now harus dikembalikan pada Zaman Old. Meskipun perdebatan akademik mengenai hal ini sangat panjang, tetapi ini adalah kecenderungan2 baru Islam Indonesia pasca reformasi.

Arah baru perkembangan Islam di Indonesia ini sangat jelas berbeda haluan dengan arah Islam Indonesia yang dibayangkan oleh Fazlur Rahman 40 atau 30 tahun yang lalu. Rahman mungkin tidak memperkirakan lompatan Teknologi Informasi yang luar biasa merambah dan memasuki hampir seluruh bilik-bilik kehidupan muslim Indonesia. Melalui hand phone,  android dan gadget, informasi apa saja, termasuk informasi politik dan keagamaan, bisa masuk kapan saja secara leluasa hingga ke bilik-bilik mereka yang paling privat sekalipun.

Rasanya di negeri kita ini, inklusifisme, toleransi, kepercayaan terhadap demokrasi, penghargaan terhadap HAM dan isu gender, sebagaimana dibayangkan Rahman, sekarang ini sedang menghadapi tantangan dan ujian yang luar biasa. Jika eksklusifisme agama, rasa permusuhan, ideology kebencian, intoleransi dan provokasi tidak bisa dikelola, maka alih-alih menjadi pelopor kebangkitan Islam, kita justru akan menjadi beban berat bagi kebangkitan Islam. Apalagi jika agen-agen moderatisme Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta UIN, IAIN dan STAIN tidak segera mendefinisikan diri dan bersinergi melakukan perubahan haluan. Saya tidak bisa membayangkan seperti apakah Indonesia 10 tahun yang akan datang. Sudahkan NU, Muhammadiyah, UIN, IAIN, STAIN dana gen-agen moderatisme Islam lainnya berbuat maksimal? Ini yang kita tunggu. Wallahu a’lam.

[:ar]

Mencermati keadaan umat Islam Indonesia akhir-akhir ini, saya jadi teringat kembali sosok pemikir Neo-Modernisme Islam, Professor Fazlur Rahman. Pemikir Islam asal Pakistan yang lama mengajar di Chicago University  ini sangat dikenal dan memiliki pengaruh luas di kalangan PTKI.Pemikirannya tentang Islam telah dikaji secara luas di UIN, IAIN dan STAIN serta PTKIS dan telah menelorkan ratusan karya akademik berupa skripsi, tesis maupun disertasi, termasuk artikel-artikel di banyak jurnal ilmiah.

Saya lupa-lupa ingat, apakah pada kunjungan pertamanya di Indonesia pada  tahun 1974, ataukah pada kunjungannya pada tahun 1985 bersama Professor Sherif Mardin dari Istambul, yang diundangan Pemerintah Indonesia untuk memberikan masukan bagi pengembangan IAIN-IAIN di Indonesia ketika itu.  Yang jelas,  Professor Fazlur Rahman pernah membuat pernyataan yang cukup mengejutkan. Ia melontarkan ramalannya secara optimistik bahwa kebangkitan Islam akan dimotori oleh umat Islam Indonesia. Kebangkitan Islam tidak muncul dari Timur Tengah, Eropa atau Amerika. Tetapi dari Indonesia.

Beberapa tahun setelahnya, dalam suatu forum diskusi di sebuah Kota di Amerika, ada seorang mahasiswa Indonesia yang belakangan menjadi tokoh penting Gerakan Dakwah di Republik ini yang menanyakan mengenai statemen Rahman tersebut. Apakah Rahman masih tetap memegangi ramalannya itu, ataukah telah merubahnya? Ternyata, dengan mantap Rahman menyatakan bahwa dia masih memegangi ramalan itu. Ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyenangkan sang penanya yang berasal dari Indonesia, tetapi didasarkan pada data-data yang handal.

Hanya Indonesia yang menurut Rahman memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor kebangkitan Islam.  Hanya Indonesia yang memiliki Ormas keagamaan Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang tidak fanatic  terhadap satu mazhab, tetapi menghormati berbagai pluralitas mazhab. Di Indonesia juga sangat banyak bermunculan sarjana muslim yang berpikiran maju, berpandangan modern dan progessif serta berkemampuan sangat baik dalam menghayati agamanya. Tidak hanya itu, mereka juga mendukung demokrasi, memiliki intensitas yang baik atas isu-isu HAM dan kesetaraan gender serta-isu-isu modern lainnya. Islamic scholarship yang seperti ini menjadi social capital yang sangat besar bagi Indonesia untuk menyadarkan dunia dari stagnasi berfikir dan “tidur panjang”nya, untuk kemudian sekali lagi bangkit memimpin peradaban dunia.

Kini,  setelah 30  tahun Fazlur Rahman meninggal (Rahman meninggal 26 Juli 1988), setelah mencermati kehidupan umat Islam Indonesia, setelah reformasi memberikan kebebasan kepada siapapun atasnama demokrasi untuk mengekspresikan pendapat dalam bingkai freedom of expression, khususnya setelah ada fasilitasi social media yang sangat dahsyat, wabil khusus setelah Pilpres 2014 dan dipertajam lagi setelah Pilgub DKI yang mampu menyihir umat Islam Indonesia menjadi terkotak-kotak dalam “bendera Islam” yang saling berhadapan. (Tampaknya, tahun 2018 ini dan 2019 semakin dahsyat).

Kini, setelah berbagai kelompok yang dipimpin oleh tokoh2, sebut saja “moslem scholars” saling berebut klaim kebenaran agama dan berusaha memonopolinya sembari menuding “kafir” atau “sesat” atas kelompok lain yang berbeda. Kini, setelah tafsir atas kebenaran agama berubah menjadi sejenis ilmu eksakta yang dibingkai melalui kemutlakan epistemology yang sangat positivistic dan tidak menyisakan ruang kemajemukan, saya jadi membayangkan, seandainya Fazlur Rahman ditanya kembali mengenai tesisnya itu.

Ya, seandainya Fazlur Rahman masih hidup, dan ditanyakan kembali kepadanya mengenai optimismenya tentang Indonesia, maka saya tidak terlalu yakin kalau dia masih konsisten dengan ramalannya itu. Karena Indonesia kini telah berubah. Islamic discourse dominan yang sehari-hari sangat luar biasa menyerbu ke ruang-ruang medsos masyarakat Indonesia kini adalah eksklusifisme agama, permusuhan, ideology kebencian, dan intoleransi. Melalui facebook, Instagram, WA, twitter, masyarakat Islam Indonesia sehari-hari diobok-obok, dibentur-benturkan dan digiring untuk memusuhi, membenci dan melawan pihak-pihak yang berbeda sembari dicomotkan secara serampangan teks-teks agama, berupa ayat Al-Qur’an atau teks-teks hadis yang dipahami secara sporadic dan seringkali “tidak bertanggung jawab”.  Tak jarang, untuk menghantam kelompok lain, konten-konten tentang agama dibumbui dengan hoax yang mengerikan.

Tidak jelas, apakah situasi ini didisain oleh invisible hand para pemegang “remote control” kekuasaan atau terjadi dengan sendirinya kemudian mereka “menungganginya” untuk kepentingan agenda-agenda kekuasaannya. Ataukah keduanya berjalan secara parallel. Yang pasti, situasi ini semakin complicated ketika bertemu dengan momentum-momentum politik.  Ketokohan para pemimpin agama  juga mengalami pergeseran luar biasa. Pemimpin-pemimpin muslim yang selama ini dikenal otoritatif  dan telah mapan, tiba-tiba tergeser oleh pemimpin-pemimpin baru yang dibesarkan melalui jalur selebritas baru, yakni youtube dan medsos.

Mulai ada gejala di media, Semakin keras orang berbicara, jika perlu dengan pekikan takbir  sembari memprovokasi, semakin dianggap layak sebagai pemimpin panutan. Ketika sebagaian besar masyarakat kita bergerak maju dan berorientasi ke depan (progressif) dalam membangun peradaban berdasarkan spirit Islam, ada sebagian dari sudara kita yang getol mempromosikan regresifisme dan formalism Islam. Formula generiknya adalah “ kembali kepada Qur’an dan Sunnah Nabi”  dalam maknanya yang letterlijk. Saudara kita ini meyakini sepenuhnya, Jika ingin berhasil mengembalikan kejayaan Islam, kita harus kembali kepada model masyarakat zaman  Nabi dan pemimpin-pemimpin Islam sesudahnya dengan sistem khilafah. Zaman Now harus dikembalikan pada Zaman Old. Meskipun perdebatan akademik mengenai hal ini sangat panjang, tetapi ini adalah kecenderungan2 baru Islam Indonesia pasca reformasi.

Arah baru perkembangan Islam di Indonesia ini sangat jelas berbeda haluan dengan arah Islam Indonesia yang dibayangkan oleh Fazlur Rahman 40 atau 30 tahun yang lalu. Rahman mungkin tidak memperkirakan lompatan Teknologi Informasi yang luar biasa merambah dan memasuki hampir seluruh bilik-bilik kehidupan muslim Indonesia. Melalui hand phone,  android dan gadget, informasi apa saja, termasuk informasi politik dan keagamaan, bisa masuk kapan saja secara leluasa hingga ke bilik-bilik mereka yang paling privat sekalipun.

Rasanya di negeri kita ini, inklusifisme, toleransi, kepercayaan terhadap demokrasi, penghargaan terhadap HAM dan isu gender, sebagaimana dibayangkan Rahman, sekarang ini sedang menghadapi tantangan dan ujian yang luar biasa. Jika eksklusifisme agama, rasa permusuhan, ideology kebencian, intoleransi dan provokasi tidak bisa dikelola, maka alih-alih menjadi pelopor kebangkitan Islam, kita justru akan menjadi beban berat bagi kebangkitan Islam. Apalagi jika agen-agen moderatisme Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta UIN, IAIN dan STAIN tidak segera mendefinisikan diri dan bersinergi melakukan perubahan haluan. Saya tidak bisa membayangkan seperti apakah Indonesia 10 tahun yang akan datang. Sudahkan NU, Muhammadiyah, UIN, IAIN, STAIN dana gen-agen moderatisme Islam lainnya berbuat maksimal? Ini yang kita tunggu. Wallahu a’lam.

[:]