SEMARANG – IsDB IAIN Walisongo
menggelar Seminar Internasional Tentang Hilal, dalam penentuan awal bulan
Ramadhan dan Syawal. Kriteria rukyah yang selama ini dianut oleh pemerintah
Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara sejak 1998, setelah beberapa tahun
diberlakukan dikritik karena dianggap tidak memenuhi syarat ilmiah dan sangat
obyektif.
Selain menurut Ketua Panitia
seminar internasional Crescent Visibility An Effort To Find An Objective
Crescent Visibility Criterion (Mencari kriteria visibilitas hilal secara
objektif) Sifaul Anam sudah dianggap tidak lagi memberikan kepastian penanggalan
sehingga harus diupayakan secara ilmiah.
“Untuk memperbaiki kriteria
rukyah selama ini yang digunakan oleh Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara
lainnya, kami mengundang pakar yang mumpuni dalam hal keilmuan dan praktisi
yang telah berpengalaman mengamati hilal,†kata Sifaul di Hotel Horison
Semarang, Senin (10/11).
Adapun para pakar dalam seminar
tersebut yaitu, Prof. Dr. H. Thomas Djamaluddin, MA (Kepala Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional / LAPAN), Prof.Dato Zambri bin Zainuddin (Pakar
astronomi dari University of Malaya Malaysia, tercatat dalam ICOP (Islamic
Crescents Observation Project) sebagai pemegang rekor dunia pengamatan hilal
termuda), Mr Saleh Al Saab (Saudi
Arabia / member of ICOP), Abbas Ahmadian (Salah satu praktisi astronomi yang
tercatat pada ICOP sebagai pemegang rekor dunia pengamatan hilal termuda,
Director at skyview instruments, Iran), Prof. Dr. H. Susiknan Azhari, M.Ag (UIN
Yogyakarta), Drs. H. Slamet Hambali, MSI (Dosen Falak UIN Walisongo, Anggota
Tim Hisab Rukyat Jakarta), Muntoha Arkanudin (Rukyatul Hilal Indonesia RHI).
Patokan rukyah yang selama ini
digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam menentukan awal puasa dan Hari Idul
Fitri, secara ilmiah tidak mungkin terjadi. Untuk itu dicoba untuk diperbaiki, berapa
patokan hilal yang pas dapat diamati oleh mata manusia.
Menurutnya di Indonesia sampai
saat ini, juga belum ada standarisasi alat dan orang yang melakukan pengamatan.
Padahal hal itu sangat penting. Kebiasaan di Indonesia, siapapun yang
melaporkan langsung diterima padahal belum tentu laporannya valid.
Pada seminar kali ini, panitia
juga ingin melihat bagaimana standarisasi alat dan orang yang melakukan
pengamatan. Seperti di Iran misalnya sambung Sifaul, ada standarisasi tertentu
untuk alat dan orang yang melakukan pengamatan meski keputusan semuanya
kemudian dilakukan oleh pemimpin besar atau Ayatullah.
“Pemerintah melalui Kemenang,
baru bisa menentukan lokasi yang dianggap valid untuk pengamatan. Seperti di
Semarang, di Masjid Agung Jawa Tengah, Jepara, Solo, dan Pekalongan,†tuturnya.