[:id]Seharusnya kitab suci itu selalu menjadi bacaan utama, karena keseluruhan hidup seseorang yang mempercayainya didasarkan atas apa yang tertera di dalamnya. Namun nasib kitab suci memang tidak selalu sama di mata para pengikutnya. Coba kita lihat seberapa banyak umat muslim yang mengakui bahwa al-Qur’an itu merupakan kitab sucinya, lalu mau mengkajinya sedemikian rupa sehingga pada akhirnya akan memahaminya dengan baik, dan mengamalkannya?
Pastinya sangat sedikit jumlah mereka yang mau mengkajinya, apalagi setiap hari. Jangankan untuk mengingat kembali isi kandungannya dan mengamalkannya, untuk sekedar mengkajinya seumur hidup saja masih banyak yang tidak melakukannya. Nah, dalam kondisi seperti itu sesungguhnya ada pertanyaan besar yang mengemuka, yakni lantas apa pedoman hidup mereka, kalau mereka sama sekali tidak mengkajinya?
Jawaban atas pertanyaan tersebut memang mungkin sangat mudah untuk diberikan, tetapi juga sangat mungkin akan sangat susah untuk dimunculkan. Kita tahu bahwa masyarakat muslim saat ini banyak yang menempuh cara yang tidak islami, melainkan mengikuti gaya yang lumrah dan bahkan terkadang juga mengikuti gaya hidup mereka yang bukan Islam, walaupun mereka masih dapat menghindari hal-hal prinsip yang diberikan rambunya oleh Islam, seperti menghindari babi dan lainnya.
Tetapi di balik itu, ternyata masih banyak umat muslim yang melanggar aturan syariat, atau mengikuti gaya hidup yang tidak selaras dengan ajaran Islam. Kita dapat menyebutkan beberapa larangan Islam yang masih saja dilanggar dan seolah berbeda dengan ketika melanggar makanan babi misalnya. Salah satunya ialah melakukan korupsi, terutama bagi mereka yang mungkin melakukan, demikian juga dengan perilaku serong dan melakukan perzinaan, dan lainnya.
Ada yang salah dalam banyak perbuatan masyarakat muslim, dikarenakan mereka tidak mengkaji al-Qur’an dengan seirus, sehingga mereka menyimpulkan sendiri ajaran syariat sebagaimana kehendak mereka. Secara prinsip bahwa semua larangan itu harus dihindarkan, karena pastinya akan dapat membawa pelakunya mendapatkan dosa serta kesulitan tersendiri dalam menghadapi hisab Tuhan. Jadi memakan makanan yang haramkan seperti daging babi itu sama dosa besarnya dengan melakukan zina, korupsi dan lainnya.
Pada kebanyakan orang muslim terjadi salah kaprah, yakni menganggap bahwa larangan yang ketika dilakukan hanya terkait dengan Tuhan semata, dan biasanya tidak akan diketahui oleh masyarakat secara luas, dianggap berbeda dengan larangan yang ketika dilakukan akan diketahui oleh masyarakat banyak. Dengan demikian mereka akan membedakan antara dosanya berzina dengan melakukan pembunuhan dan juga meminum minuman haram, yakni arak dengan segala jenisnya.
Padahal semuanya itu dapat saja dibuka oleh Tuhan, sehinga semua masyarakat akan mengetahuinya, dan itu persoalan mudah bagi Allah SWT. Artinya kalau kebanyakan manusia menganggap bahwa dosa berzina itu sangat pribadi, maka ketika Tuhan mengangkatnya sebagai hal yang dapat diketahui oleh umum, dengan mudah Tuhan akan menjadikannya seperti itu, semisal pasangannya hamil dan menuntut, bahkan hingga sampai pengadilan, dan menjadi pembicaraan masyarakat ramai.
Sebaliknya jika Tuhan menghendaki pembunuhan sekalipun, tidak akan diketahui banyak orang, melainkan hanya diketahuinya sendiri dengan Tuhan tentunya. Demikian juga dengan meminum minuman arak, memakan daging babi dan lainnya. Dengan begitu sesunggunya bukan persoalan dosa yang dapat dilakukan secara tersembunyi dan tidaknya, melainkan sejauhmana orang mampu mengejawantahkan ajaran Islam ke dalam dirinya sehingga akan berpengaruh dalam perilakunya.
Semua itu terkait dengan sejauhmana seseorang mau mempelajari dan mendalami isi kandungan kitab yang menjadi anutannya. Ketika seseorang meyakini bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi pedoman dalam hidupnya, seharusnya terus berusaha untuk mendalaminya hingga mengetahui benar apa isi kandungannya, bukan hanya cukup dengan mengetahui kewajiban pokoknya sebagai seorang muslim yang dapat diketahuinya tanpa harus membaca dan mengkaji al-Qur’an.
Pada tahap awal, barangkali memang tidak masalah kalau seseorang cukup mengetahui kewajiban pokok saja, tetapi bukan berarti kemudian diam dan tidak ada usaha untuk melakukan kajian agar mengetahui isi kitab sucinya. Kebanyakan umat muslim saat ini tidak ada kepedulian dalam menghayati kitab suci mereka, sehingga nasib kitab suci yang kita percaya dan banggakan tersebut menjadi terpinggirkan, dan bahkan terkadang dengan sengaja dilanggar isi ajarannya.
Menyaksikan hal tersebut kemudian kita tidak heran kalau kemudian banyak umat muslim hanya memandang bahwa Islam itu hanyalah menjalankan shalat lima waktu sehari semalam, berpuasa di bulan Ramadlan, dan mungkin mengerjakan haji ke tanah suci. Mereka tidak merasa berdosa dan salah ketika harus meninggalkan zakat atas harta mereka. Ironisnya dalam persoalan zakat ini, masih ada yang berpengertian bahwa zakat itu hanya zakat fitrah setiap mengakhiri Ramadlan semata.
Kesalahan tersebut berakibat karambol, yakni dengan tidak menganggap zakat harta itu sebagai bagian dari kewajiban sebagaimana shalat dan puasa, maka banyak diantara orang kaya muslim yang sama sekali tidak membayar zakat. Akibatnya banyak kepentingan umat yang seharusnya dapat tertangani melalui harta zakat, menjadi terbengkelai. Bahkan keberadaan umat muslim yang mayoritas di negeri ini seolah menjadi pihak termiskin yang harus meminta dikasihani oleh pihak lain. Sungguh merupakan kerugian dan pemandangan yang tidak dapat diterima oleh akal sehat.
Sangat menyedihkan juga ketika kita tahu bahwa ada masyarakat muslim yang mau membaca kitab sucinya, tetapi tidak dibarengi dengan usaha untuk memahaminya. Namun keberadaan mereka masih kita syukuri, karena nasib kitab suci tidak lagi terbengkalai dan tergeletak begitu saja, melainkan sudah dibaca oleh umatnya, walaupun belum diupayakan untuk dimengerti isinya. Lantas apa yang harus kita lakukan sehingga nasib kitab suci kita memang benar-benar sangat bagus dan dapat dipraktekkan dalam kehidupan masyarakatnya?
Sudah barang tentu harus ada usaha untuk mewujudkan hal tersebut, dan usaha tersebut tidak ringan, karena harus mengubah kebiasaan para muslim yang sudah terlalu lama tidak menyentuh aspek tersebut. Barangkali akan lebih bagus dimulai dari mereka yang selama ini sudah mau membaca kitab suci, lalu ditingkatkan untuk juga memahami artinya secara seksama sehingga mereka pada akhirnya akan paham dengan kandungan kitab suci yang biasa dibaca tersebut.
Usaha lainnya mungkin dapat ditempuh bahwa para siswa di sekolah dan mahasiswa di perguruan tinggi digiatkan kembali budaya membaca dan mengerti serta memahami kitab suci, walaupun hanya sedikit setiap harinya, namun konsisten. Mungkin hanya dengan melakukan sedikit demi sedikit, tetapi nyata dalam prakteknya, kita akan mampu menemukan kembali kitab suci al-Qur’an bersemarak diseantero jagat, bukan hanya dibaca, melainkan juga akan mewarnai kehidupan nyata.
Terakhir, hal yang juga tidak boleh ditinggalkan ialah kesadaran kita sebagai umat muslim, dan kebetulan menjadi kepala rumah tangga yang mengayomi keluarga, hendaknya kita jadikan diri kita sebagai teladan bagi keluarga kita, terutama dalam hal bagaimana kita berusaha membaca dan mengkaji kitab suci, serta sesekali memberikan pemahaman kepada keluarga tentang isi kandungannya yang terkait dengan anjuran kitab suci untuk selalu berbuat kebajikan dan kemaslahatan.
Semoga usaha kita untuk hal yang mulia tersebut dapat dikabulkan oleh Tuhan, yakni tersadarkannya banyak umat muslim untuk mengkaji kitab suci serta menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, khususnya dalam hal bermuamalah secara luas, disamping secara individual sebagaimana yang sudah biasa dilakukan. Semoga. [21/4/2016]
sumber: muhibbin-noor.walisongo.ac.id [:]