Menunggu Peran Maksimal Agen Moderatisme Islam, Oleh : Dr. Musahadi M.Ag (Wakil Rektor I UIN Walisongo)

[:en]

Mencermati keadaan umat Islam Indonesia akhir-akhir ini, saya jadi teringat kembali sosok pemikir Neo-Modernisme Islam, Professor Fazlur Rahman Pemikir Islam asal Pakistan yang lama mengajar di Chicago University  ini sangat dikenal dan memiliki pengaruh luas di kalangan PTKI.Pemikirannya tentang Islam telah dikaji secara luas di UIN, IAIN dan STAIN serta PTKIS dan telah menelorkan ratusan karya akademik berupa skripsi, tesis maupun disertasi, termasuk artikel-artikel di banyak jurnal ilmiah.

Saya lupa-lupa ingat, apakah pada kunjungan pertamanya di Indonesia pada  tahun 1974, ataukah pada kunjungannya pada tahun 1985 bersama Professor Sherif Mardin dari Istambul, yang diundangan Pemerintah Indonesia untuk memberikan masukan bagi pengembangan IAIN-IAIN di Indonesia ketika itu.  Yang jelas,  Professor Fazlur Rahman pernah membuat pernyataan yang cukup mengejutkan. Ia melontarkan ramalannya secara optimistik bahwa kebangkitan Islam akan dimotori oleh umat Islam Indonesia. Kebangkitan Islam tidak muncul dari Timur Tengah, Eropa atau Amerika. Tetapi dari Indonesia.

Beberapa tahun setelahnya, dalam suatu forum diskusi di sebuah Kota di Amerika, ada seorang mahasiswa Indonesia yang belakangan menjadi tokoh penting Gerakan Dakwah di Republik ini yang menanyakan mengenai statemen Rahman tersebut. Apakah Rahman masih tetap memegangi ramalannya itu, ataukah telah merubahnya? Ternyata, dengan mantap Rahman menyatakan bahwa dia masih memegangi ramalan itu. Ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyenangkan sang penanya yang berasal dari Indonesia, tetapi didasarkan pada data-data yang handal.

Hanya Indonesia yang menurut Rahman memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor kebangkitan Islam.  Hanya Indonesia yang memiliki Ormas keagamaan Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang tidak fanatic  terhadap satu mazhab, tetapi menghormati berbagai pluralitas mazhab. Di Indonesia juga sangat banyak bermunculan sarjana muslim yang berpikiran maju, berpandangan modern dan progessif serta berkemampuan sangat baik dalam menghayati agamanya. Tidak hanya itu, mereka juga mendukung demokrasi, memiliki intensitas yang baik atas isu-isu HAM dan kesetaraan gender serta-isu-isu modern lainnya. Islamic scholarship yang seperti ini menjadi social capital yang sangat besar bagi Indonesia untuk menyadarkan dunia dari stagnasi berfikir dan “tidur panjang”nya, untuk kemudian sekali lagi bangkit memimpin peradaban dunia.

Kini,  setelah 30  tahun Fazlur Rahman meninggal (Rahman meninggal 26 Juli 1988), setelah mencermati kehidupan umat Islam Indonesia, setelah reformasi memberikan kebebasan kepada siapapun atasnama demokrasi untuk mengekspresikan pendapat dalam bingkai freedom of expression, khususnya setelah ada fasilitasi social media yang sangat dahsyat, wabil khusus setelah Pilpres 2014 dan dipertajam lagi setelah Pilgub DKI yang mampu menyihir umat Islam Indonesia menjadi terkotak-kotak dalam “bendera Islam” yang saling berhadapan. (Tampaknya, tahun 2018 ini dan 2019 semakin dahsyat).

Kini, setelah berbagai kelompok yang dipimpin oleh tokoh2, sebut saja “moslem scholars” saling berebut klaim kebenaran agama dan berusaha memonopolinya sembari menuding “kafir” atau “sesat” atas kelompok lain yang berbeda. Kini, setelah tafsir atas kebenaran agama berubah menjadi sejenis ilmu eksakta yang dibingkai melalui kemutlakan epistemology yang sangat positivistic dan tidak menyisakan ruang kemajemukan, saya jadi membayangkan, seandainya Fazlur Rahman ditanya kembali mengenai tesisnya itu.

Ya, seandainya Fazlur Rahman masih hidup, dan ditanyakan kembali kepadanya mengenai optimismenya tentang Indonesia, maka saya tidak terlalu yakin kalau dia masih konsisten dengan ramalannya itu. Karena Indonesia kini telah berubah. Islamic discourse dominan yang sehari-hari sangat luar biasa menyerbu ke ruang-ruang medsos masyarakat Indonesia kini adalah eksklusifisme agama, permusuhan, ideology kebencian, dan intoleransi. Melalui facebook, Instagram, WA, twitter, masyarakat Islam Indonesia sehari-hari diobok-obok, dibentur-benturkan dan digiring untuk memusuhi, membenci dan melawan pihak-pihak yang berbeda sembari dicomotkan secara serampangan teks-teks agama, berupa ayat Al-Qur’an atau teks-teks hadis yang dipahami secara sporadic dan seringkali “tidak bertanggung jawab”.  Tak jarang, untuk menghantam kelompok lain, konten-konten tentang agama dibumbui dengan hoax yang mengerikan.

Tidak jelas, apakah situasi ini didisain oleh invisible hand para pemegang “remote control” kekuasaan atau terjadi dengan sendirinya kemudian mereka “menungganginya” untuk kepentingan agenda-agenda kekuasaannya. Ataukah keduanya berjalan secara parallel. Yang pasti, situasi ini semakin complicated ketika bertemu dengan momentum-momentum politik.  Ketokohan para pemimpin agama  juga mengalami pergeseran luar biasa. Pemimpin-pemimpin muslim yang selama ini dikenal otoritatif  dan telah mapan, tiba-tiba tergeser oleh pemimpin-pemimpin baru yang dibesarkan melalui jalur selebritas baru, yakni youtube dan medsos.

Mulai ada gejala di media, Semakin keras orang berbicara, jika perlu dengan pekikan takbir  sembari memprovokasi, semakin dianggap layak sebagai pemimpin panutan. Ketika sebagaian besar masyarakat kita bergerak maju dan berorientasi ke depan (progressif) dalam membangun peradaban berdasarkan spirit Islam, ada sebagian dari sudara kita yang getol mempromosikan regresifisme dan formalism Islam. Formula generiknya adalah “ kembali kepada Qur’an dan Sunnah Nabi”  dalam maknanya yang letterlijk. Saudara kita ini meyakini sepenuhnya, Jika ingin berhasil mengembalikan kejayaan Islam, kita harus kembali kepada model masyarakat zaman  Nabi dan pemimpin-pemimpin Islam sesudahnya dengan sistem khilafah. Zaman Now harus dikembalikan pada Zaman Old. Meskipun perdebatan akademik mengenai hal ini sangat panjang, tetapi ini adalah kecenderungan2 baru Islam Indonesia pasca reformasi.

Arah baru perkembangan Islam di Indonesia ini sangat jelas berbeda haluan dengan arah Islam Indonesia yang dibayangkan oleh Fazlur Rahman 40 atau 30 tahun yang lalu. Rahman mungkin tidak memperkirakan lompatan Teknologi Informasi yang luar biasa merambah dan memasuki hampir seluruh bilik-bilik kehidupan muslim Indonesia. Melalui hand phone,  android dan gadget, informasi apa saja, termasuk informasi politik dan keagamaan, bisa masuk kapan saja secara leluasa hingga ke bilik-bilik mereka yang paling privat sekalipun.

Rasanya di negeri kita ini, inklusifisme, toleransi, kepercayaan terhadap demokrasi, penghargaan terhadap HAM dan isu gender, sebagaimana dibayangkan Rahman, sekarang ini sedang menghadapi tantangan dan ujian yang luar biasa. Jika eksklusifisme agama, rasa permusuhan, ideology kebencian, intoleransi dan provokasi tidak bisa dikelola, maka alih-alih menjadi pelopor kebangkitan Islam, kita justru akan menjadi beban berat bagi kebangkitan Islam. Apalagi jika agen-agen moderatisme Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta UIN, IAIN dan STAIN tidak segera mendefinisikan diri dan bersinergi melakukan perubahan haluan. Saya tidak bisa membayangkan seperti apakah Indonesia 10 tahun yang akan datang. Sudahkan NU, Muhammadiyah, UIN, IAIN, STAIN dana gen-agen moderatisme Islam lainnya berbuat maksimal? Ini yang kita tunggu. Wallahu a’lam.

[:id]

Mencermati keadaan umat Islam Indonesia akhir-akhir ini, saya jadi teringat kembali sosok pemikir Neo-Modernisme Islam, Professor Fazlur Rahman. Pemikir Islam asal Pakistan yang lama mengajar di Chicago University  ini sangat dikenal dan memiliki pengaruh luas di kalangan PTKI.Pemikirannya tentang Islam telah dikaji secara luas di UIN, IAIN dan STAIN serta PTKIS dan telah menelorkan ratusan karya akademik berupa skripsi, tesis maupun disertasi, termasuk artikel-artikel di banyak jurnal ilmiah.

Saya lupa-lupa ingat, apakah pada kunjungan pertamanya di Indonesia pada  tahun 1974, ataukah pada kunjungannya pada tahun 1985 bersama Professor Sherif Mardin dari Istambul, yang diundangan Pemerintah Indonesia untuk memberikan masukan bagi pengembangan IAIN-IAIN di Indonesia ketika itu.  Yang jelas,  Professor Fazlur Rahman pernah membuat pernyataan yang cukup mengejutkan. Ia melontarkan ramalannya secara optimistik bahwa kebangkitan Islam akan dimotori oleh umat Islam Indonesia. Kebangkitan Islam tidak muncul dari Timur Tengah, Eropa atau Amerika. Tetapi dari Indonesia.

Beberapa tahun setelahnya, dalam suatu forum diskusi di sebuah Kota di Amerika, ada seorang mahasiswa Indonesia yang belakangan menjadi tokoh penting Gerakan Dakwah di Republik ini yang menanyakan mengenai statemen Rahman tersebut. Apakah Rahman masih tetap memegangi ramalannya itu, ataukah telah merubahnya? Ternyata, dengan mantap Rahman menyatakan bahwa dia masih memegangi ramalan itu. Ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyenangkan sang penanya yang berasal dari Indonesia, tetapi didasarkan pada data-data yang handal.

Hanya Indonesia yang menurut Rahman memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor kebangkitan Islam.  Hanya Indonesia yang memiliki Ormas keagamaan Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang tidak fanatic  terhadap satu mazhab, tetapi menghormati berbagai pluralitas mazhab. Di Indonesia juga sangat banyak bermunculan sarjana muslim yang berpikiran maju, berpandangan modern dan progessif serta berkemampuan sangat baik dalam menghayati agamanya. Tidak hanya itu, mereka juga mendukung demokrasi, memiliki intensitas yang baik atas isu-isu HAM dan kesetaraan gender serta-isu-isu modern lainnya. Islamic scholarship yang seperti ini menjadi social capital yang sangat besar bagi Indonesia untuk menyadarkan dunia dari stagnasi berfikir dan “tidur panjang”nya, untuk kemudian sekali lagi bangkit memimpin peradaban dunia.

Kini,  setelah 30  tahun Fazlur Rahman meninggal (Rahman meninggal 26 Juli 1988), setelah mencermati kehidupan umat Islam Indonesia, setelah reformasi memberikan kebebasan kepada siapapun atasnama demokrasi untuk mengekspresikan pendapat dalam bingkai freedom of expression, khususnya setelah ada fasilitasi social media yang sangat dahsyat, wabil khusus setelah Pilpres 2014 dan dipertajam lagi setelah Pilgub DKI yang mampu menyihir umat Islam Indonesia menjadi terkotak-kotak dalam “bendera Islam” yang saling berhadapan. (Tampaknya, tahun 2018 ini dan 2019 semakin dahsyat).

Kini, setelah berbagai kelompok yang dipimpin oleh tokoh2, sebut saja “moslem scholars” saling berebut klaim kebenaran agama dan berusaha memonopolinya sembari menuding “kafir” atau “sesat” atas kelompok lain yang berbeda. Kini, setelah tafsir atas kebenaran agama berubah menjadi sejenis ilmu eksakta yang dibingkai melalui kemutlakan epistemology yang sangat positivistic dan tidak menyisakan ruang kemajemukan, saya jadi membayangkan, seandainya Fazlur Rahman ditanya kembali mengenai tesisnya itu.

Ya, seandainya Fazlur Rahman masih hidup, dan ditanyakan kembali kepadanya mengenai optimismenya tentang Indonesia, maka saya tidak terlalu yakin kalau dia masih konsisten dengan ramalannya itu. Karena Indonesia kini telah berubah. Islamic discourse dominan yang sehari-hari sangat luar biasa menyerbu ke ruang-ruang medsos masyarakat Indonesia kini adalah eksklusifisme agama, permusuhan, ideology kebencian, dan intoleransi. Melalui facebook, Instagram, WA, twitter, masyarakat Islam Indonesia sehari-hari diobok-obok, dibentur-benturkan dan digiring untuk memusuhi, membenci dan melawan pihak-pihak yang berbeda sembari dicomotkan secara serampangan teks-teks agama, berupa ayat Al-Qur’an atau teks-teks hadis yang dipahami secara sporadic dan seringkali “tidak bertanggung jawab”.  Tak jarang, untuk menghantam kelompok lain, konten-konten tentang agama dibumbui dengan hoax yang mengerikan.

Tidak jelas, apakah situasi ini didisain oleh invisible hand para pemegang “remote control” kekuasaan atau terjadi dengan sendirinya kemudian mereka “menungganginya” untuk kepentingan agenda-agenda kekuasaannya. Ataukah keduanya berjalan secara parallel. Yang pasti, situasi ini semakin complicated ketika bertemu dengan momentum-momentum politik.  Ketokohan para pemimpin agama  juga mengalami pergeseran luar biasa. Pemimpin-pemimpin muslim yang selama ini dikenal otoritatif  dan telah mapan, tiba-tiba tergeser oleh pemimpin-pemimpin baru yang dibesarkan melalui jalur selebritas baru, yakni youtube dan medsos.

Mulai ada gejala di media, Semakin keras orang berbicara, jika perlu dengan pekikan takbir  sembari memprovokasi, semakin dianggap layak sebagai pemimpin panutan. Ketika sebagaian besar masyarakat kita bergerak maju dan berorientasi ke depan (progressif) dalam membangun peradaban berdasarkan spirit Islam, ada sebagian dari sudara kita yang getol mempromosikan regresifisme dan formalism Islam. Formula generiknya adalah “ kembali kepada Qur’an dan Sunnah Nabi”  dalam maknanya yang letterlijk. Saudara kita ini meyakini sepenuhnya, Jika ingin berhasil mengembalikan kejayaan Islam, kita harus kembali kepada model masyarakat zaman  Nabi dan pemimpin-pemimpin Islam sesudahnya dengan sistem khilafah. Zaman Now harus dikembalikan pada Zaman Old. Meskipun perdebatan akademik mengenai hal ini sangat panjang, tetapi ini adalah kecenderungan2 baru Islam Indonesia pasca reformasi.

Arah baru perkembangan Islam di Indonesia ini sangat jelas berbeda haluan dengan arah Islam Indonesia yang dibayangkan oleh Fazlur Rahman 40 atau 30 tahun yang lalu. Rahman mungkin tidak memperkirakan lompatan Teknologi Informasi yang luar biasa merambah dan memasuki hampir seluruh bilik-bilik kehidupan muslim Indonesia. Melalui hand phone,  android dan gadget, informasi apa saja, termasuk informasi politik dan keagamaan, bisa masuk kapan saja secara leluasa hingga ke bilik-bilik mereka yang paling privat sekalipun.

Rasanya di negeri kita ini, inklusifisme, toleransi, kepercayaan terhadap demokrasi, penghargaan terhadap HAM dan isu gender, sebagaimana dibayangkan Rahman, sekarang ini sedang menghadapi tantangan dan ujian yang luar biasa. Jika eksklusifisme agama, rasa permusuhan, ideology kebencian, intoleransi dan provokasi tidak bisa dikelola, maka alih-alih menjadi pelopor kebangkitan Islam, kita justru akan menjadi beban berat bagi kebangkitan Islam. Apalagi jika agen-agen moderatisme Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta UIN, IAIN dan STAIN tidak segera mendefinisikan diri dan bersinergi melakukan perubahan haluan. Saya tidak bisa membayangkan seperti apakah Indonesia 10 tahun yang akan datang. Sudahkan NU, Muhammadiyah, UIN, IAIN, STAIN dana gen-agen moderatisme Islam lainnya berbuat maksimal? Ini yang kita tunggu. Wallahu a’lam.

[:ar]

Mencermati keadaan umat Islam Indonesia akhir-akhir ini, saya jadi teringat kembali sosok pemikir Neo-Modernisme Islam, Professor Fazlur Rahman. Pemikir Islam asal Pakistan yang lama mengajar di Chicago University  ini sangat dikenal dan memiliki pengaruh luas di kalangan PTKI.Pemikirannya tentang Islam telah dikaji secara luas di UIN, IAIN dan STAIN serta PTKIS dan telah menelorkan ratusan karya akademik berupa skripsi, tesis maupun disertasi, termasuk artikel-artikel di banyak jurnal ilmiah.

Saya lupa-lupa ingat, apakah pada kunjungan pertamanya di Indonesia pada  tahun 1974, ataukah pada kunjungannya pada tahun 1985 bersama Professor Sherif Mardin dari Istambul, yang diundangan Pemerintah Indonesia untuk memberikan masukan bagi pengembangan IAIN-IAIN di Indonesia ketika itu.  Yang jelas,  Professor Fazlur Rahman pernah membuat pernyataan yang cukup mengejutkan. Ia melontarkan ramalannya secara optimistik bahwa kebangkitan Islam akan dimotori oleh umat Islam Indonesia. Kebangkitan Islam tidak muncul dari Timur Tengah, Eropa atau Amerika. Tetapi dari Indonesia.

Beberapa tahun setelahnya, dalam suatu forum diskusi di sebuah Kota di Amerika, ada seorang mahasiswa Indonesia yang belakangan menjadi tokoh penting Gerakan Dakwah di Republik ini yang menanyakan mengenai statemen Rahman tersebut. Apakah Rahman masih tetap memegangi ramalannya itu, ataukah telah merubahnya? Ternyata, dengan mantap Rahman menyatakan bahwa dia masih memegangi ramalan itu. Ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyenangkan sang penanya yang berasal dari Indonesia, tetapi didasarkan pada data-data yang handal.

Hanya Indonesia yang menurut Rahman memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor kebangkitan Islam.  Hanya Indonesia yang memiliki Ormas keagamaan Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang tidak fanatic  terhadap satu mazhab, tetapi menghormati berbagai pluralitas mazhab. Di Indonesia juga sangat banyak bermunculan sarjana muslim yang berpikiran maju, berpandangan modern dan progessif serta berkemampuan sangat baik dalam menghayati agamanya. Tidak hanya itu, mereka juga mendukung demokrasi, memiliki intensitas yang baik atas isu-isu HAM dan kesetaraan gender serta-isu-isu modern lainnya. Islamic scholarship yang seperti ini menjadi social capital yang sangat besar bagi Indonesia untuk menyadarkan dunia dari stagnasi berfikir dan “tidur panjang”nya, untuk kemudian sekali lagi bangkit memimpin peradaban dunia.

Kini,  setelah 30  tahun Fazlur Rahman meninggal (Rahman meninggal 26 Juli 1988), setelah mencermati kehidupan umat Islam Indonesia, setelah reformasi memberikan kebebasan kepada siapapun atasnama demokrasi untuk mengekspresikan pendapat dalam bingkai freedom of expression, khususnya setelah ada fasilitasi social media yang sangat dahsyat, wabil khusus setelah Pilpres 2014 dan dipertajam lagi setelah Pilgub DKI yang mampu menyihir umat Islam Indonesia menjadi terkotak-kotak dalam “bendera Islam” yang saling berhadapan. (Tampaknya, tahun 2018 ini dan 2019 semakin dahsyat).

Kini, setelah berbagai kelompok yang dipimpin oleh tokoh2, sebut saja “moslem scholars” saling berebut klaim kebenaran agama dan berusaha memonopolinya sembari menuding “kafir” atau “sesat” atas kelompok lain yang berbeda. Kini, setelah tafsir atas kebenaran agama berubah menjadi sejenis ilmu eksakta yang dibingkai melalui kemutlakan epistemology yang sangat positivistic dan tidak menyisakan ruang kemajemukan, saya jadi membayangkan, seandainya Fazlur Rahman ditanya kembali mengenai tesisnya itu.

Ya, seandainya Fazlur Rahman masih hidup, dan ditanyakan kembali kepadanya mengenai optimismenya tentang Indonesia, maka saya tidak terlalu yakin kalau dia masih konsisten dengan ramalannya itu. Karena Indonesia kini telah berubah. Islamic discourse dominan yang sehari-hari sangat luar biasa menyerbu ke ruang-ruang medsos masyarakat Indonesia kini adalah eksklusifisme agama, permusuhan, ideology kebencian, dan intoleransi. Melalui facebook, Instagram, WA, twitter, masyarakat Islam Indonesia sehari-hari diobok-obok, dibentur-benturkan dan digiring untuk memusuhi, membenci dan melawan pihak-pihak yang berbeda sembari dicomotkan secara serampangan teks-teks agama, berupa ayat Al-Qur’an atau teks-teks hadis yang dipahami secara sporadic dan seringkali “tidak bertanggung jawab”.  Tak jarang, untuk menghantam kelompok lain, konten-konten tentang agama dibumbui dengan hoax yang mengerikan.

Tidak jelas, apakah situasi ini didisain oleh invisible hand para pemegang “remote control” kekuasaan atau terjadi dengan sendirinya kemudian mereka “menungganginya” untuk kepentingan agenda-agenda kekuasaannya. Ataukah keduanya berjalan secara parallel. Yang pasti, situasi ini semakin complicated ketika bertemu dengan momentum-momentum politik.  Ketokohan para pemimpin agama  juga mengalami pergeseran luar biasa. Pemimpin-pemimpin muslim yang selama ini dikenal otoritatif  dan telah mapan, tiba-tiba tergeser oleh pemimpin-pemimpin baru yang dibesarkan melalui jalur selebritas baru, yakni youtube dan medsos.

Mulai ada gejala di media, Semakin keras orang berbicara, jika perlu dengan pekikan takbir  sembari memprovokasi, semakin dianggap layak sebagai pemimpin panutan. Ketika sebagaian besar masyarakat kita bergerak maju dan berorientasi ke depan (progressif) dalam membangun peradaban berdasarkan spirit Islam, ada sebagian dari sudara kita yang getol mempromosikan regresifisme dan formalism Islam. Formula generiknya adalah “ kembali kepada Qur’an dan Sunnah Nabi”  dalam maknanya yang letterlijk. Saudara kita ini meyakini sepenuhnya, Jika ingin berhasil mengembalikan kejayaan Islam, kita harus kembali kepada model masyarakat zaman  Nabi dan pemimpin-pemimpin Islam sesudahnya dengan sistem khilafah. Zaman Now harus dikembalikan pada Zaman Old. Meskipun perdebatan akademik mengenai hal ini sangat panjang, tetapi ini adalah kecenderungan2 baru Islam Indonesia pasca reformasi.

Arah baru perkembangan Islam di Indonesia ini sangat jelas berbeda haluan dengan arah Islam Indonesia yang dibayangkan oleh Fazlur Rahman 40 atau 30 tahun yang lalu. Rahman mungkin tidak memperkirakan lompatan Teknologi Informasi yang luar biasa merambah dan memasuki hampir seluruh bilik-bilik kehidupan muslim Indonesia. Melalui hand phone,  android dan gadget, informasi apa saja, termasuk informasi politik dan keagamaan, bisa masuk kapan saja secara leluasa hingga ke bilik-bilik mereka yang paling privat sekalipun.

Rasanya di negeri kita ini, inklusifisme, toleransi, kepercayaan terhadap demokrasi, penghargaan terhadap HAM dan isu gender, sebagaimana dibayangkan Rahman, sekarang ini sedang menghadapi tantangan dan ujian yang luar biasa. Jika eksklusifisme agama, rasa permusuhan, ideology kebencian, intoleransi dan provokasi tidak bisa dikelola, maka alih-alih menjadi pelopor kebangkitan Islam, kita justru akan menjadi beban berat bagi kebangkitan Islam. Apalagi jika agen-agen moderatisme Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta UIN, IAIN dan STAIN tidak segera mendefinisikan diri dan bersinergi melakukan perubahan haluan. Saya tidak bisa membayangkan seperti apakah Indonesia 10 tahun yang akan datang. Sudahkan NU, Muhammadiyah, UIN, IAIN, STAIN dana gen-agen moderatisme Islam lainnya berbuat maksimal? Ini yang kita tunggu. Wallahu a’lam.

[:]

Leave a Reply