Moderasi Beragama Dikembangkan Sesuai Platfrom Walisongo

[:id] 

UIN Walisongo Online, Semarang – Rumah Moderasi Beragama (RMB) UIN Walisongo akan mengembangkan platform yang diajarkan Walisongo dalam penyebaran dakwahnya di tengah masyarakat menjadi cara pikir dan cara bertindak di masa-masa mendatang.

Demikian disampaikan dalam Webinar Moderasi Beragama Indegenous Religiosity yang diselenggakan pada Rabu (15/7/2020) hari ini. Hadir tiga narasumber, yaitu Menteri Agama 2014-2019 Lukman Hakim Saifudin, Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid dan Budayawan Prie GS.

Kegiatan Webinar Moderasi Beragama dibuka secara langusng oleh Rektor UIN Walisongo Prof. Dr. H. Imam Taufiq, M.Ag. Dalam amanatnya, ditekankan bahwa moderasi beragama sangat penting bagi Warga Negara Indonesia.

Jumlah warga Islam di Indonesia sekitar 207 juta jiwa atau 87 persen dari total penduduk. Indonesia diberkahi dengan banyaknya keberagamaan suku bangsa, agama, bahasa. Banyaknya keragaman itu menuntut warganya menghormati penduduk yang lain, tidak dengan cara-cara yang ekslusif.

Menurut guru besar ilmu tafsir UIN Walisongo ini, cara-cara ekslusif akan memicu banyak persoalan baik itu kekerasan bahkan ekstrimisme. Semua itu jika tidak diantisipasi akan menjadi prahara jika tidak diantisipasi dengan baik.

“Indonesia dengan usia produktif yang besar ini patut direspon dengan sigap. Saya tidak bisa membayangkan orang dengan mobilitas tinggi dipengaruhi paham yang tidak benar. Webinar ini menawarkan gagasan bagaimana memahami esensi lokalitas pada sikap beragama kita. Lokalitas kita terpresentasi sikap keagamaan. Local wisdom yang variatif sangat berperan signifikan pada perbedaan dan menguatkan harmoni masyarakat,” ujar rektor, mengawali sambutan.

Dijelaskan rektor, Al-quran adalah sumber perdamaian yang mengajak pada aspek lokalitas sebagai pijakan lokalitas beragama. Salah satu fondasi dalam membumikan budaya moderat dan damai adalah cara yang dilakukan Nabi Muhammad mengharmonisasikan penduduk Madinah. Allah mengajarkan untuk saling bersinergi, saling berkolaborasi.

“Majapahit di Indonesia memberikan keleluasan agama kepada masyarakatnya. Kampus ini lahir untuk ikut menyebarkan Islam secara santun, tanpa meninggalkan kebingungan,” tambahnya.

Acara dipandu oleh Ketua RMB UIN Walisongo Dr. H. Imam Yahya, M.Ag. Dalam prolognya, Imam Yahya menjelaskan bahwa yang dilakukan Walisongo adalah model keberagaman yang tepat saat ini. Model keberagaman nantinya akan dikembangkan.

Menurut dia, di Jawa, Walisongo mengembangkan Islam di Indonesia dengan model keberagaman dengan akulturatif budaya. Model adaftif di Jawa misalnya di Yogya dengan pelaksanaan Sekaten.

“Itu akulturasi yang dibangun Sunan Kalijaga. Yang dikembangkan Walisongo penting untuk pengembangan Moderasi Beragama ke depan,” ucapnya.

Diskusi yang digelar sejak pukul 10.00 WIB ini berlangung cukup menarik. Lebih dari 700 orang berpartisipasi dalam Webinar secara daring, serta ratusan yang mengikuti lewat live di media sosial.

Dalam diskusi ini, berturut-turut yang memberi pemaparan adalah Prie Ges, Lukman Hakim Saifudin dan Yenni Wahid.

Pries GS memaparkan bahwa metode dari Walisongo memberi platform yang besar. Walisongo dinilainya tidak sebatas ahli sufi, tapi memang ahli dalam berbagai bidang. Dicontohkan Sunan Kalijaga, adalah tokoh yang sufistik, seniman, mursyid thariqah dan sebagianya.

“Walisongo juga punya watak sebagai saintis. Saintis ini watak spiritualitas. Sunan Kalijaga membuat saya heran. Situs yang ditinggalkan selalu ada sumur. Setelah saya pahami, sumur itu riset metalurgi. Beliau (Sunan Kalijaga) pakar metalurgi,” ujarnya.

Lukman Hakim Saifudin menekankan konsep moderasi beragama yang banyak salah pemahaman. Banyak orang yang terjebak untuk mengatakan moderasi itu condong ke arah kiri. Padahal moderasi beragama itu tidak berada di kanan ataupun di kiri.

“Moderat itu dimaknai sebagai sesuatu yang berimplikasi pada tolerasi, sehingga dalam beragama dibilang tidak serius atau sungguh-sungguh. Pemahaman seperti ini tidak benar dan harus didudukkan dengan baik, sehingga punya persepsi yang sama. Moderasi beragama adalah upaya membuat moderat, tidak berlebihan atau ekstrim dalam beragama. Yang dimoderasi cara kita beragama, bukan agama itu sendiri,” ujarnya.

Yenni Wahid menekankan pentingnya moderasi beragama untuk merespon meningkatnya angka kekerasan, intoleransi hingga ekstrimisme. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Wahid Foundation, ada 0,4 persen warga yang bersedia untuk menjadi radikal.

Angka 0,4 dianggap kecil. Namun jika disesuikan dengan jumlah penduduk Indonesia bisa mencapai 1 juta orang. “0,4 persen ini potensial kalau kemudian hari ada kesempatan melakukan itu. Tapi sisi good newsnya mayoritas muslim lebih dari 74 persen tidak bersedia radikal,” tambahnya. (Tim Humas)[:]

Leave a Reply