Ngaji Bareng bersama Prof Farid Esack; On Being A Muslim In The Today World: Learning to Live Together and The Quranic Liberation Theology

[:id]

SEMARANG- Dalam rangka peringati Dies Natalis UIN Walisongo Ke-49 Fakultas Ushuludin dan Humaniora mengadakan kegiatan Ngaji Bareng bersama Prof Farid Esack Ph.D, dengan tema “ On Being A Muslim In The Today World: Learning to Live together and The Quranic Liberation Theology”, kegiatan yang berlangsung di auditorium I lantai II ini dihadiri lebih dari 500 mahasiswa dan dibuka secara resmi oleh Wakil Rektor II Prof Dr H Imam Taufiq MAg, Senin (25/3).

Sekilas tentang Farid Esack; Farid Esack dilahirkan pada tahun 1959 di sebuah perkampungan kumuh lagi miskin di Cape Town, Wynberg, Afrika Selatan. Esack termasuk seorang intelektual yang mengalami masa kecil yang sulit dan pahit.

Sebuah kenyataan pahit yang dialami keluarga Farid Esack menjadi salah satu inspirasi penting dalam perkembangan pemikiran Esack yang meyakini bahwa berteologi bukan berarti mengurusi Tuhan semata: neraka, surga dan lain-lain. Bagi Esack, teologi yang terlalu mengurusi Tuhan, sementara Tuhan adalah zat yang tidak perlu diurus, adalah teologi mubazir yang terlalu banyak menyedot energi umat. Esack meyakini bahwa teologi harus dipraksiskan, bukannya digenggam erat-erat untuk tujuan kesalehan personal (individual piety). Dengan mendekatidan mengasihi makh-luk-Nya, demikian Esack, maka kita sama saja telah mengabdi kepada Tuhan.

Satu pengalaman eksistensial lainnya yang berkaitan dengan berteologi praksis di atas, yang melampaui batas demarkasi ideologis sempat dialami Esack dan keluarganya. Tatkala kesulitan hidup makin mendera, keluarga Esack sangat bergantung kepada para tetangga Kristen yang selalu rutin memberi makanan ala kadarnya. Esack secara khusus juga takpernah melupakan jasa Tuan Frankl, seorang Yahudi, yang sering memperpanjang batas pengembalian pinjaman barang dan uang untuk waktu yang tak terbatas.Hubungan sosial yang begitu harmonis yang bahkan mengatasi sekat agama itulah yang mendorong Esack lebih supel dalam bergaul. Selanjutnya, ketika Esack merintis perjuangan anti-apartheid, Esack tidak lagi mempersoalkan prasangka-prasangka sempit karena problem klaim kebenaran dan klaim keselamatan (claim of truth and salvation) di benak Esack telah usai.

Menurut Farid Esack, al-Qur‟an mempunyai signifikansi bagi masyarakat lain di luar Arab. Signifikansi itu akan ditemukan ketika memahami al-Qur‟andibawa kedalam konteks lain dari konteks kelahirannya. Al-Qur‟an dipahami berdasarkan konteks baru. Dalam rangka itulah,Esack berusaha membaca al-Qur‟andalam kontekshermeneutika untuk membebaskan masyarakat Islam Afrika Selatan dari ketertindasan kekuasaan apartheid.

Metode Hermeneutika yang dikembangkan FaridEsack, telihat di bukunya al-Qur’an, Liberation & Pluralism, yang menawarkankunci-kunci hermeneutika untuk membaca teks. Diantara kunci-kunci hermeneutika itu adalah Tawhid, Taqwa, al-Mustad’afun, Qist dan Adl serta Jihad. Seperti halnya dalam pembacaan teks hermeneutika pada umumnya yang berkutat antar author, teks dan interpreter, menurutnya, hermeneutika sebagai metode memahami al-Qur‟an sangat mendesak penerapannya, karena umat Islam, meskipun sangat sepakat tentang sifat divinitas al-Qur‟an, namun memiliki perbedaan yang cukup lebar tentang peran al-Qur‟an dan caramemahaminya.

Pada buku Qur’an Liberation and Pluralism, Esack menjelaskan wacana pluralisme agama yang bertemu dengan praksis pembebasan yang konkret. Ia memahami pluralisme tak sekadar mengakui dan menghormati perbedaan. Nilai pluralisme dalam al-Quran ditujukan pada tujuan tertentu yang berujung pada humanisme universal.

Pluralitas agama, suku dan golongan adalah sunnatullah bila dikembalikan pada al-Quran surat al-Hujurat: 13.Pada wilayah yang rawan konflik, pluralitas memang dimaknai sebagai sumbu perpecahan karena hilangnya faktor kepercayaan (trust) akibat pengelompokan segregatif atas dasar simbol agama dan kesukuan. Inilah yang menguatkan pluralisme sebagai fakta teologis, dimana barangsiapa menentang pluralisme berarti ia menentang kehendak Tuhan dan menyangkut soal agama sama sekali tidak adapaksaan di sana (la ikraha fi al-diin).Hal inilah yang sedari awal ditegaskan oleh Esack akan pentingnya menjalin solidaritas antaragama untuk pembebasan. Pluralisme dimaknainya sebagai modal awal bagi tumbuhnya gerakan interreligius yang meneriakkan semangat pembebasan bagi kaum yang tertindas. Sejarah para nabi ialah lembaran sejarah orang-orang tertindas. Kata Esack, semua nabi datang dari kalangan tertindas, kecuali Nabi Musa yang dibesarkan di istana Fir‟aun tapi kemudian berjuang bersama kaum tertindas melawan tiranisme Fir‟aun. Pada umumnya, tantangan yang pertama kali muncul ketika utusan Tuhan menyampaikan dakwah, selalu datang dari para penguasa yang menari di atas penderitaan rakyat yang papa dan tertindas.

Tanpa diragukan lagi, jelaslah bahwa Hermeneutika Pembebasan al-Qur‟an telah menjadi sesuatu yang paling berpengaruh dan paling kontroversial di dunia Islam pada akhir abad ke-20. Hermeneutika pembebasan al-Qur‟an bermula ketika Farid Esack melihat kecenderungan umat Islam pada waktu itu sangat menekankan aspek-aspek rohani dari kehidupan, yang berpusat pada dunia metafisik daripada tentang realita kehidupan di dunia. Jadi pemikiran Farid Esack merupakan reaksi menentang metode tradisional dalam berteologi. Pada akhirnya, Farid Esack ingin mengatakan bahwa manusia tidak akan memiliki suatu teologi pembebasan yang otentik sampai mereka yang tertindas mampu mengekspresikan diri mereka sendiri secara bebas dan kreatif di dalam masyarakat sebagai hamba Tuhan. Titik tolak hermeneutika pembebasan al-Qur‟an adalah konteks Afrika Selatan, namun dalam banyak hal pemikiran Farid Esack relevan untuk konteks Indonesia. Maka dalam menghadapi problem pembebasan di Indonesia, pemikiran Farid Esack ini telah memberikan sumbangsih.

[:]

Leave a Reply