[:id]
Oleh Prof, Dr. H. Ahmad Rofiq, MA (Direktur Pascasarjana UIN Walisongo)
Assalamualaikum wrwb.
Segala puji dan syukur hanya milik Allah Rabbu l-Ardli wa s-Samawat. Marilah kita ungkapkan puji dan syukur kita ke hadirat Allah. Hanya karena anugrah dan kasih sayang-Nya hari ini kita sehat wal afiat dan dapat melaksanakan aktifitas kita hari ini. Shalawat dan salam mari kita senandungkan pada Baginda Rasulullah Muhammad saw, keluarga, dan para pengikut beliau. Juga kita senandungkan pada Nabi kita Ibrahim as. Semoga kita diberi kesempatan oleh Allah untuk menjadi tamu-Nya di tanah haramain.
Saudaraku, belakangan ini media sosial, cetak, dan elektronik, diramaikan diskusi sangat intens tentang “kejadian” para jamaah umrah yang pada saat sa’i membaca atau mengumandangkan doa yang tidak ada tuntunannya. Pertama, yang lebih dahulu muncul melafalkan Pancasila. Kedua, jamaah “Anshor” yang mengumandangkan secara “berjamaah” lagu – yang oleh sebagian anggota pendukungnya juga dianggap doa – Ya Lal Wathan yang isi pokoknya “Hubbu l-Wathan mina l-Iman”.
Bahkan kemarin, Rabu, 28/2/2018 siang, menjadi topik dialog interaktif di TV swasta tertentu, yang masih dianggap cukup kritis dan netral. Perdebatannya tentu tergantung dari perspektif yang melihatnya. Dari MUI juga diminta narasumber, yang menyampaikan bahwa MUI akan mengeluarkan taushiyah setelah berkomunikasi dengan Kementerian Agama.
Saudaraku, ibadah sa’i adalah salah satu rukun ibadah umrah dan haji (ketika seseorang melaksanakan haji). Sa’i sebagai rukun adalah berjalan dari bukit Shafa ke bukit Marwah tujuh putaran dan Shafa-Marwah dihitung satu pitaran dan Marwah-Shafa satu putaran. (Karena pernah ada jamaah yang mengerjakan sa’i menghitung Shafa-Marwah-Shafa satu putaran).
Soal doa yang harus dibaca ketika sa’i, Kementerian Agama, KBIH atau Biro biasanya sudah menyiapkan buku panduan doa ibadah haji dan umrah. Meskipun doa yang dibaca sunnah hukumnya, para Ulama sepakat agar doa yang dibaca juga mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Beliau menegaskan :
عن جابر بن عبد الله رضي الله عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قال: “خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ” رَوَاهُ أَحْمَدُ ومُسْلِمٌ وَالنَّسَائِيُّ.
Riwayat dari Jabir bin Abdullah ra, sesungguhnya Nabi saw bersabda : “Ambillah dari aku tata cara ibadah atau manasik (haji dan umrah) kamu sekalian” (Riwayat Ahmad, Muslim, dan an-Nasa’i).
هذا كلام جامع استدل به أهل العلم على مشروعية جميع ما فعله النبي صلّى الله عليه وسلم، وما قاله في حجة وجوباً في الواجبات، ومستحباً في المستحبات، وهو نظير قوله صلّى الله عليه وسلم في الصلاة: “صلوا كما رأيتموني أصلي” فكما أن ذلك يشمل جزئيات الصلاة كلها. فهذا يشمل جزئيات المناسك كلها.
Kalimat di atas menunjukkan bahwa para ahli ilmu mencakup disyariatkannya semua apa yang dikerjakan oleh Nabi saw. Apa yang beliau wajibkan adalah kewajiban, apa yang disukai (mustahab) dalam yang mustahab. Seperti halnya sabda beliau saw dalam shalat : “Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu sekalian lihat aku shalat”. Ini menunjukkan mencakup semua bagian-bagian shalat. Ini juga mencakup bagian-bagian manasik seluruhnya (Bahjatu Qulub al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun al-Akhyar).
Saya tidak ingin masuk pada persoalan fiqh terhadap kasus jamaah yang membaca Pancasila dan menyanyikan lagu Ya Lal Wathan. Karena secara fiqh tidak ada pelanggaran, akan tetapi para jamaah sebagai tamu Allah tentu akan lebih baik, lebih asyik, dan lebih khusyu’ dan khudlu’ kalau mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Alkisah, ada dialog yang layak disimak bersama secara seksama, antara seseorang yang melaksanakan ibadah haji dengan seorang Ulama sufi, Imam Junaid al-Baghdady. Kisah ini cukup populer, dan dikutip juga di webnya nu.or.id. dan beberapa web lainnya. Kasus tersebut memang kejadiannya dalam sa’i untuk umrah sunnah, tetapi Umrah itu adalah ibadah haji kecil. Yang perintahnya juga ditempatkan secara berutuan dalam Alqur’an:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah semata hanya karena Allah…….” (QS. Al-Baqarah: 196).
Ibadah haji dan umrah itu, bukan piknik, bukan untuk dagang, dan juga bukan untuk meminta-minta. Ini yang dikhawatirkan oleh Rasulullah saw empat belas abad yang lalu. Beliau bersabda : “Akan datang suatu masa, yaitu orang-orang kaya dari umatku melaksanakan ibadah haji (niatnya) untuk wisata, orang-orang kalangan menengah (niatnya) untuk berdagang, orang-orang kalangan ahli pengetahuan (niatnya) karena ria dan sum’ah (pamer dan dide gar orang lain) dan orang-orang fakir di antara mereka (niatnya) untuk untuk meminta-minta”. (HR Ibnu Jauzy).
Saudaraku, dalam kisah ini diceritakan “suatu ketika Imam Al-Junaid (IJ) al-Baghdadi menerima kunjungan seseorang (H) yang baru saja pulang menunaikan ibadah haji. Meski ritual haji telah ia jalankan, namun orang ini belum menunjukkan perubahan perilaku apa-apa dalam hidupnya.
IJ : “Dari mana Anda?”
H : “Saya baru saja pulang dari ibadah haji ke Baitullah?”
IJ : ”Jadi, Anda benar-benar telah melaksanakan ibadah haji?”
H : “Tentu, Imam. Saya telah menunaikan haji.”
IJ : “Apakah Anda sudah janji akan meninggalkan dosa-dosa Anda saat meninggalkan rumah untuk pergi haji?”
H : “Tidak, Imam. Saya tidak pernah memikirkan hal itu.”
IJ : “Anda sejatinya tak pernah melangkahkan kaki untuk haji”. “Saat Anda berada dalam perjalanan suci dan berhenti di suatu tempat semalaman, apakah Anda memikirkan tentang usaha mencapai kedekatan dengan Allah?”
- : “Itu semua tak terlintas di benak saya.”
IJ : “Berarti Anda tidak pergi menuju Ka’bah, tidak pula pernah mengunjunginya. Saat Anda mengenakan pakaian Ihram dan melepas semua pakaian yang biasa Anda kenakan, apakah Anda sudah berketetapan untuk membuang semua cara dan perilaku buruk Anda, menjadi pribadi lebih baik?”
- : “Tidak, Imam. Saya juga tak pernah berpikir demikian.”
- : “Berarti Anda tidak pernah mengenakan pakaian ihram. Saat Anda Wuquf (berdiam diri) di padang Arafah dan bersimpuh memohon kepada Allah, apakah Anda merasakan bahwa Anda sedang wuquf dalam Kehadiran Ilahi dan menyaksikan-Nya?”
- : ”Tidak. Saya tidak mendapat pengalaman (spiritual) apa-apa.” Imam Junaid pun sedikit kaget.
- : “Baiklah, saat Anda datang ke Muzdalifah, apakah Anda berjanji akan menyerahkan nafsu jasmaniah Anda?”
- : “Imam, saya pun tak memikirkan hal itu.”
- : “Berarti Anda sama sekali tak mengunjungi Muzdalifah. Oh kalau begitu, ceritakan kepadaku Keindahan Ilahi apa yang Anda tangkap sekilas saat Thawaf, mengitari Ka’bah.”
- : “Tidak ada, Imam. Sekilas pun saya tak melihat.”
- : “Sama artinya Anda tidak mengelilingi Ka’bah sama sekali. Ketika Sa’i, lari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, apakah Anda menyadari tentang hikmah, nilai, dan tujuan jerih payah Anda?”
H : “Tidak.” Jawab orang itu lagi.
- : “Berarti Anda tidak melakukan Sa’i.” “Saat Anda menyembelih hewan di lokasi pengurbanan, apakah Anda juga mengurbankan nafsu keegoisan untuk menapaki jalan Allah?”
- : “Tidak. Saya gagal memperhatikan hal itu, Imam.”
- : “Artinya, secara faktual Anda tidak mengusahakan pengurbanan apa-apa Lalu, ketika Anda melempar Jumrah, apakah Anda bertekad membuang jauh kawan dan nafsu busukmu?”
- : “Tidak juga, Imam.”
- : “Berarti Anda sama sekali tidak melempar Jumrah.”
Dengan nada menyesal, Imam Junaid menyergah orang tersebut.
IJ : “Pergi, dan tunaikan ibadah haji lagi. Pikirkan dan perhatikan seluruh kewajiban yang ada hingga haji Anda mirip dengan ibadah haji Nabi Ibrahim, pemilik keyakinan dan kesungguhan hati sebagaimana ditegaskan al-Qur’an:
“Wa Ibrahima l-ladzi waffa. Dan Ibrahim yang telah menyempurnakan janji.” (nu.online)
Teman saya duta besar di Arab Saudi, Agus Maftuh Abigibriel pun curhat di laman facebooknya, dan menghimbau agar para ekspatriat yang sedang melaksanakan ibadah umrah, jalankan sebagaimana kepantasan dalam beribadah. “Kalau mau menumpahkan komitmen atau apapun terhadap NKRI datanglah ke kantor Kedubes RI, dan tumpahkan dalam tembok KBRI”.
Saudaraku, kita bisa belajar dari pengalaman saudara kita yang sudah menunjukkan ghirah dan mahabbah wathaniyahnya, meskipun dilakukan di tempat dan juga waktu yang kurang tepat, yang justru menumbulkan kegalauan, kekesalan, dan kemarahan banyak pihak. Beribadah kepada Allah bukan hanya soal batasan hitam putih yang minimalis, akan tetapi ibadah kita adalah kepasrahan, bertaqarrub untuk mendekatkan diri kepada Dzat Yang Menghidupi kita, bermanja-manja untuk “menyatukan diri kita” menurut Ulama Sufi falsafi, atau “menanamkan kerinduan cinta hati kita kepada Allah” agar kita senantiasa dalam genggaman dan bahtera cinta-Nya”.
Semoga Allah terus melimpahkan rizqi-Nya pada kota dan keluarga kita, agar kita bisa sowan menghadap Allah di tanah suci Makah dan Madinah untuk menjadi tamu-Nya yang bisa dan rendah hati mengikuti teladan dan contoh kaifiyat manasik beliau. Amin ya Rabb.
اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد كما صليت و سلمت وباركت على سيدناابراهيم و على ال سيدنا ابراهيم في العالمين انك حميد مجيد
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamu’alaikum wrwb.
Ngaliyan Semarang, 1/3/2018.
[:]