[:id]Mungkin bagi kita yang tidak terlibat langsung dan juga tidak terlalu mengamati persoalan perhajian Indonesia, akan menganggap persoalan haji hanyalah sebagaimana yang sering muncul di permukaan, yakni seperti persoalan pemondokan yang terlalu jauh dari masjid haram, persoalan makanan yang terkadang terlambat dan masalah pelaksanaan lempar jumrah. Namun selain persoalan tersebut ternyata banyak persoalan lainnya yang sungguh luar biasa rumitnya.
Beberapa waktu yang lalu saya diminta menjadi salah seorang narasumber dalam masalah perhajian, khususnya masalah badal haji, dan betapa terkejutnya saya ketika banyak diantara peserta yang kemudian mengurai dan menceritakan banyaknya permasalahan seputar haji, bukan saja tentang badal haji, melainkan juga persoalan dam atau denda, dan persoalan yang disebut sebagai mafia lainnya, baik yang terjadi ketika masih di Indonesia, maupun setelah para jamaah berada di tanah suci.
Haji sesungguhnya merupakan salah satu bentuk ibadah yang seharusnya dimanfaatkan untuk mencari keridlaan Tuhan dan mencari pahala, namun untuk sebagian orang ternyata malah digunakan sebagai kesempatan untuk melakukan praktek yang sangat dilarang oleh Islam itu sendiri, seperti menipu dengan dalih membantu, menggunakan kesempatan untuk memperkaya diri dengan tanpa mengindahkan tuntunan syariat dan lainnya.
Modusnya seperti menjalankan ibadah dan membantu para jamaah untuk menunaikan sebagian pekerjaan yang seharusnya dilaksanakan oleh para jamaah, tetapi sesungguhnya semua itu hanyalah modus dalam mengibuli banyak jamaah untuk meraih keuntungan materi yang sebanyak-banyaknya. Praktek yang sering dilakukan oleh banyak orang ialah tentang dam atau denda yang mesti dibayar oleh para jamaah haji yang melaksanakan haji tamattu’.
Kita paham bahwa hampir seluruh jamaah haji dari Indonesia akan menjalankan haji tamattu’ atau menjalankan umrah terlebih dahulu setelah sampai di tanah suci, lalu mereka bebas untuk melakukan sesuatu termasuk berpakaian biasa, sampai pada saat mau berangkat ke Arafah untuk wukuf, mereka baru memakai kain ihram kembali dengan niat haji. Nah, mereka yang melakukan haji seperti itu disebut dengan tamattu’ dan mereka dikenai denda, yakni menyembelih seekor kambing.
Biasanya akan banyak orang yang menawarkan untuk membelikan kambing secara rombongan dan dihargai dengan harga yang cukup murah, padahal seluruh jamaah haji sudah dihimbau untuk membayar dam tersebut melalui bank yang resmi ditunjuk oleh pemerintah Saudi, sehingga dapat dipertanggungjawabkan keamanahannya. Namun sebagaimana umumnya masyarakat Indonesia, kalau ada yang lebih murah, tentunya mereka akan lebih memilih yang murah.
Nah, kondisi seperti itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh para calo dan mafia atau “penjahat” untuk menipu jamaah. Pada umumnya para penipu tersebut akan menawari para jamaah untuk membelikan kambing sebagai denda mereka dengan rombongan, semisal dalam satu pemondokan, dan tentu dengan harga yang cukup miring. Terkadang mereka juga memberikan semacam pembuktian yakni dengan robiongan beberapa bus untuk mengunjungi tempat penyembelihan hewan.
Pada saat mereka semua sudah sampai di tempat tersebut, para calo tersebut turun terlebih dahulu dan berbincang dengan para jagal dan penjual kambing, dan tentu yang dibincangkan mengenai kambing yang akan disembelih. Setelah itu jamaah disuruh turun dan ada kalanya mereka diminta untuk memegang kambing-kambing dalam kandang yang dimiliki oleh pedagang tersebut dengan pengertian bahwa kambing kambing tersebut sudah dibeli semuanya.
Nah, setelah itu lalu para jagal tersebut memulai memotong beberapa dan tidak lebih dari 10 ekor, lalu karena kondisi sangat panas, para jamaah lalu masuk lagi ke dalam bus, dan bahkan biasanya juga didesain waktunya sudah mepet dengan waktu shalat dhuhur. Lalu para calo tersebut memberikan pilihan kepada para jamaah, apakah mereka akan berjamaah shalat dhuhur di situ atau dimasjid Haram, tentu mereka akan menjawab di masjid.
Dengan begitu kemudian mereka memutuskan bahwa ada salah seorang calo yang ditinggal ditempat itu, yang katanya untuk meneruskan penyembelihan kambing dam, sementera seluruh jamaah akan kembali ke masjid. Nah, itu merupakan salah satu modus penipuan mengenai masalah dam tersebut. Kondisi seperti itu sesungguhnya sudah banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia, tetapi akan sangat sulit untuk mencegahnya.
Ada modus lainnya yang juga sering digunakan oleh para penipu tersebut, yakni dengan bekerjasama dengan beberapa restoran tertentu, sehingga kambing yang dibeli hanya dengan harga separohnya saja, sementara dagingnya nanti bukannya diberikan kepada para fakir miskin, melainkan akan diangkut oleh restoran tersebut. Kesulitan untuk memberantas mafia dam tersebut disebabkan para jamaah akan terus berganti dan mayoritas jamaah haji kita adalah mereka yang berpendidikan rendah sehingga akan sangat mudah untuk ditipu, bahkan sejak dari tanah air.
Belum lagi persoalan badal haji yang juga saat ini sudah mejamur serta meresahkan, karena prakteknya sudah menyimpang dari ketentuan syariat. Meskipun persoalan badal haji tersebut tetap menjadi berbedaan para ulama, namun mayoritas ulama membolehkannya, dan itulah yang kemudian dijadikan sebagai alat untuk menipu orang. Bahkan sejak di tanah air pun sudah banyak orang yang mengondisikan hal tersebut dengan berbagai alasan bahkan terkadang menjurus kepada penakutan tertentu.
Kebanyakan diantara para “penipu” masalah badal haji tersebut mendatangi jamaah dan menawarkan diri untuk menjadi badal haji atas keluarga jamaah yang akan dibadalkan, dan ongkosnya pun tentu relatif lebih murah. Namun kemudian para “penipu” tersebut terus mencari mangsanya dan terkadang bisa mendapatkan puluhan orang. Padahal menurut aturannya bahwa satu orang hanya dapat membadali satu orang saja, bukan satu orang membadali beberapa orang.
Para penipu tersebut ternyata dengan enaknya terus melalukan praktek haram tersebut dan kemudian hanya membeli sebuah sertifikat untuk diberikan kepada mereka yang sudah membayarnya, dan anehnya jamaah yang membadalkan haji tersebut sudah puas dengan bukti sertifikat tersebut yang diatasnamakan keluarga yang dibadalkan tersebut. Dan tentu masih banyak lagi praktek haram yang dilakukan oleh mereka yang sudah mati nuraninya tersebut, meskipun seolah mereka itu orang baik dan menjalani ibadah.
Atas dasar beberapa kenyataan tersebut dan tentu masih banyak pertimbangan lainnya, maka kemudian direkomendasikan beberapa hal setidaknya untuk mengurangi praktek tercela tersebut di masa mendatang. Diantara rekomendasi tersebut ialah:
1. Agar pembayaran dam atau denda tersebut dilakukan bersamaan dengan setoran BPIH dengan catatan bagi mereka yang kemudian ternyata melakukan haji ifrad yang tidak terkena denda, mereka dapat mengambilnya kembali setelah pulang dari tanah suci. Persoalan belum melakukan pelanggaran kok sudah membayar denda, itu masalah mudah diselesaikan dengan penjelasan yang arif, tetapi hal tersebut justru lebih menyelamatkan para jamaah haji. Pemerintah dan seluruh komponen bangsa harus mendukung masalah ini, karena ini semua dimaksudkan untuk memberikan pelayanan dan sekaligus proteksi dari kemungkinan penipuan yang selama ini sudah banyak dilakukan pihak lain.
2. Untuk pelaksanaan badal haji, sebaiknya ada lembaga khusus profesional yang ditetapkan oleh pemerintah dan selalu dilakukan evaluasi serta pengawasan, agar praktek liar dan merugikan dapat ditekan dan bahkan dihilangkan. Masalah ini memang agak rumit dan memerlukan pemikiran yang lebih jernih, sehingga tidak perlu tergesa-gesa, melainkan dilakukan dengan pengkajian yang lebih cermat. Sudah barang tentu biayanya juga harus diaudit dan ditetapkan oleh pemerintah pula.
Dengan begitu insyaAllah sedikit masalah akan dapat diatasi dan secara terus menerus akan dapat dilakukan upaya perbaikan dalam penyelenggaraan haji secara umum serta menghilangkan ekses yang dapat timbul sebagaimana saat ini banyak dapat disaksikan oleh masyarakat. Semoga. [07/08/2016]
:: kolom-kolom harian Prof Dr H Muhibbin MAg dapat dibaca di http://muhibbin-noor.walisongo.ac.id[:]