[:id]SEMARANG – Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang menganugerahi K. H. Husein Muhammad, gelar kehormatan akademik, Doktor Honoris Causa. Penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dilakukan pada rapat senat terbuka di Aula II kampus 3 UIN Walisongo Semarang, Selasa (26/3).
Rektor UIN Walisongo Semarang Prof Dr H Muhibbin MAg memberikan selamat kepada K H Husein Muhammad atas dianugerahkannya Doktor Honoris Causa.
” UIN Walisongo Semarang berkomitmen akan mencari para ulama’ yang cakap dan pantas untuk diberikan gelar Doktor Honoris Causa, semoga kedepan Ulama’-ulama’ kita bisa berkiprah sesuai bidangnya, dan selamat kepada K H Husein Muhammad” Ungkap Prof Muhibbin saat beri sambutan.
” UIN Walisongo Semarang Saat ini terus bergerak maju memantapkan diri sebagai salah satu Universitas terkemuka di Indonesia hal ini dibuktikan dengan terakreditasinya UIN Walisongo dengan mendapatkan nilai A” Imbuh Prof Muhibbin
Gelar Doktor Honoris Causa untuk K. H. Husein Muhammad itu dianugerahkan untuk bidang Tafsir Gender pada Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang, K. H. Husein Muhammad dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa dikarnakan dianggap berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia dalam bidang Tafsir Gender.
K. H. Husein Muhammad mengaku sangat terkejut dengan gelar dari UIN Walisongo Semarang, karna baginya karya-karyanya bisa dinikmati dan jadi rujukan masyarakat baginya sudah bersyukur, namun bagaimanapun juga saya sangat berterimakasih kepada UIN Walisongo Semarang yang telah memberi gelar Doktor Honoris Causa kepada Saya”.
Tuturnya saat ditemui tim humas UIN Walisongo.
K.H. Husein Muhammad, lahir di Cirebon, 9 Mei 1953. Setelah menyelesaikan pendidikan di Pesantren Lirboyo, Kediri, tahun 1973 melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur-an (PTIQ) Jakarta. Tamat tahun 1980.
Kemudian melanjutkan belajar ke Al-Azhar, Kairo, Mesir. Di tempat ini ia mengaji secara individual pada sejumlah ulama Al-Azhar.Kembali ke Indonesia tahun 1983 dan menjadi salah seorang pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, yang didirikan kakeknya tahun 1933 sampai sekarang.
Tahun 2001 mendirikan sejumlah lembaga swadaya masyarakat untuk isu-isu Hak-hak Perempuan, antara lain Rahima, Puan Amal Hayati, Fahmina Institute dan Alimat.
Sejak tahun 2007 sampai sekarang menjadi Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Tahun 2008 mendirikan Perguruan Tinggi Institute Studi Islam Fahmina di Cirebon. Aktif dalam berbagai kegiatan diskusi, Halaqah, dan seminar keislaman, khususnya terkait dengan isu-isu Perempuan dan Pluralisme, baik di dalam maupun di luar negeri.
Suami Lilik Nihayah Fuadi dengan 5 orang anak ini aktif menulis di sejumlah media massa, menulis dan menerjemahkan buku. Ada sekitar 10 buku karya yang dihasilkannya. Salah satu bukunya yang banyak digunakan sebagai referensi aktivis perempuan adalah “Fiqh Perempuan, Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Gender”. Karyanya yang lain adalah “Islam Agama Ramah Perempuan”, “Ijtihad Kiyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender”, “Dawrah Fiqh Perempuan“ (modul pelatihan), “Fiqh Seksualitas”, “Fiqh HIV/AIDS”, “Mengaji Pluralisme Kepada Maha Guru Pencerahan”,”Sang Zahid, Mengarungi Sufisme Gus Dur”, “Menyusuri Jalan Cahaya”, dan lain-lain.
Ia menerima penghargaan Bupati Kabupaten Cirebon sebagai Tokoh Penggerak, Pembina dan Pelaku Pembangunan Pemberdayaan Perempuan (2003), penerima Award (penghargaan) dari Pemerintah AS untuk “Heroes To End Modrn-Day Slavery”, tahun 2006. Namanya juga tercatat dalam “The 500 Most Influential Muslims” yang diterbitkan oleh The Royal Islamic Strategic Studies Center, tahun 2010, 2011-2012.[:]