[:id]
UIN Walisongo Online; Semarang – Saat ini fungsi akademisi sastra lebih banyak mencetak analis dan kritikus, Mereka menciptakan berbagai teori sastra yang digunakan sebagai kritik terhadap karya sastra. Namun banyak dari mereka yang justru tidak menciptakan karya apapun.
Hal itu dikatakan oleh sastrawan asal kota semarang, Gunawan Budi Susanto yang akrab disapa kang putu dalam bincang sastra dan launching antologi puisi bertajuk “Membaca Wajah Puisi Hari Ini” di Auditorium II kampus 3 UIN Walisongo, Selasa (17/12/19).
“Saya pribadi sudah kehilangan kepercayaan pada akademisi sastra, omong kosong aja mereka. Baca sastra aja gak pernah kok ngaku akademisi,” jelas gunawan.
Bincang sastra dan lauching Antologi puisi Soeket Teki tersebut digelar dalam rangka memperingati hari lahir (Harlah) ke-35 surat kabar mahasiswa (SKM) Amanat.
Turut hadir penulis buku Dian Nafi, Wakil Rektor I Muhsin Jamil dan beberapa alumni SKM Amanat seperti Hasan Aoni, Joko Tri Harianto, Zaenal Arif, Siti Alfijah dan sebagai moderator Nur Zaidi.
Mengenai tema yang diusung “Membaca Wajah Puisi Hari Ini”, Gunawan mengatakan ia tidak dapat menjelaskan bagaimana bentuk wajah puisi pada hari ini.
“Saya tidak dapat berkata macam apa dan bagaimana wajah puisi hari ini, karena bagaimana mungkin anda semua bikin sajak yang begitu indah namun sampai hari ini ada kawan penyair yang kita tidak tahu dimana beliau dikuburkan, wiji tukhul,” tutur Gunawan.
Kang putu juga mengatakan, dalam hal membuat puisi ada hal-hal yang perlu diperhatikan bukan hanya soal kata-kata yang indah yang bisa dibaca oleh semua orang, tetapi tentang nilai apa yang terkandung didalamnya.
“Kalo buat puisi cobalah perhatikan kata-katanya. Pakai kata-kata yang anda kenal, pakai susunan kata yang sederhana, kalimat yang sederhana tapi kemudian jika anda pikirkan lagi kata-kata tersebut susah untuk diartikan,” kata Gunawan.
Dian Nafi yang membahkan, ilmu tentang cara menulis puisi, cara bagaimana seorang sastra mengajak kita merespon puisi, dan mampu menjadikan puisi bukan hanya sebagai ajang eksistensi.
“Untuk menulis puisi, kita harus peka menangkap sesuatu yang langsung buat kita punya ide, memang harusnya puisi kita itu diarahkan untuk membaca apa yang terjadi disekitar kita sehingga kita itu dapat menyuarakan sesuatu dan kita mampu menjadikan sebuah puisi bukan hanya sebagai eksistensi tetapi juga sebagai sebuah solusi,”ujar Dian.
Acara tersebut dimeriahkan dengan musikalisasi puisi kolaborasi Teater Wadas dan Skm Amanat, dan di akhir acara Muhsin Jamil dan beberapa alumni diberi kesempat membacakan puisi.[:]