[:id]
Semarang- UIN Walisongo Semarang bersama dengan Tim Dewan Pertimbangan Presiden RI (Wantimpres) adakan kegiatan diskusi terbatas dengan tema Revolusi Karakter Bangsa yang bermuara pada sudut pandang pendidikan, kegiatan berlangsung di ruang sidang Biro lantai 3 Rektorat UIN Walisongo Semarang, Kamis (2/8).
Diskusi terbatas UIN Walisongo bersama Wantimpres hadirkan narasumber Prof A Malik Fadjar, Prof Amin Abdullah, Prof Muhibbin, Dr KH Haedar Nashir, Dr Sabar Narimo yang dimoderatori oleh Dr Musahadi.
Menurut Prof Malik Fadjar “ Revolusi Karakter Bangsa, bagian dari skala prioritas dari nawacita Presiden dan Wapres RI, Alhamdulilah kegiatan ini dapat terselenggara di kampus UIN Walisongo Semarang. Sengaja saya memilih tempat ini karena saya ingin keterlibatan dari institusi-institusi pendidikan dalam menggerakkan revolusi karakter bangsa. Karena itu terimakasih kepada Pak Rektor beserta civitas akademika yang bersedia menjadi penyelenggara kegiatan ini dan juga narasumber yang hadir dalam diskusi terbatas ini” Ungkapnya saat buka acara
Menurutnya Dewan Pertimbangan Presiden dulu adalah DPA (Dewan Pertimbangan Agung). DPA dibangun atas dasar UU 1945 Pasal 16 sebelum diamandemen. Setelah diamandemen bernama Dewan Pertimbangn Presiden. DPA 45 Orang, Dewan Perpres 9 orang. Tugasnya, kalau DPA menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan presiden dan menyampaikan saran-usul, DPP berkewajiban memberi nasehat, saran dan pertimbangan dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahannya.
Sekilas, bahwa nawacita yang telah dipancangkan oleh presiden dan wakil presiden, adalah melakukan perubahan karakter bangsa dilihat dari sudut pandang pendidikan dan karakter bangsa tidak bisa dilepaskan dari fungsi dan tujuan dari pendidikan nasional kita. Saat Indonesia mencanangkan tujuan, pada waktu Prof. Yamin, dengan tegas mengatakan “hanya dengan sistem pendidikan yang bercorak nasional, rasa nasionalisme karakter bangsa ini bisa diwujudkan”. imbuhnya
Prof Amin Abdullah Menyampaikan “ Pendidikan karakter itu sudah biasa. Tetapi sekarang menjadi karakter bangsa. Saya kira dari Mawardi sampai sekarang kita belum banyak bicara tentang al-muwathanah (citizenship). Ini tidak lagi insklusi, tetapi harusnya pluralistik. Sehingga diskusi ke depan perlu secara revolusioner membicarakan muwathanah itu. Kata-kata revolusi bukan dalam artian yang “radikal”, tetapi yang “kunniyah” (bertahap). Harus ada dua hal yang perlu dimulai: (1) pasca reformasi 1998 itu punya dampak besar, pendidikan kita terkepung dengan radikalisme, intoleransi dlsb. Tidak tahu persis apa penyebabnya. Maka pendidikan kita mengantarkan pada kemampuan bernalar yang kritis. (2) destruksi terjadi pada pendidikan kita, yang diperlukan sekarang adalah complex problem solving dan the complity of flexibility “.
Prof Muhibbin Menyampaikan “Merevolusi karakter bangsa, melalui pendidikan, perlu dimulai dari pendidikan yang paling dasar. Selain karakter adalah pembiasaan-pembiasaan yang baik. Ada 16 karakter yang juga digaungkan oleh kemendikbud. Dalam beberapa hal, pembiasaan ini juga membutuhkan pemaksaan. Tapi harus konsisten. Bangsa kita menganut paham paternalistik, sehingga keteladanan menjadi kunci penting. Di sini tidak cukup materi saja. Ini harus simultan. Persoalannya: apakah pendidikan saat ini sudah mengarah pada revolusi karakter? Jawabannya barangkali bisa variatif. Tetapi jika jujur jawabannya adalah belum. Sehingga guru misalnya, tidak hanya sebagai pengajar, tetapi harus menjadi pendidik. Ada banyak kasus hukum yang menimpa guru sehingga peran mereka lebih cenderung menjadi “pengajar” saja. Perubahan sistem ini menyangkut keseluruhan tenaga kependidikan: tidak hanya guru agama, guru pancasila, atau guru kewarganegaraan. Seluruh komponen yang terlibat dalam proses pendidikan harus mengamalkan visi yang disusun sebagai tujuan pendidikan nasional.”
Dr KH Haedar Nashir Menyampaikan “Saya ingin berbagi pengalaman, kedua, saya ingin merekontruksi kira-kira apa yang diinginkan dari revolusi karakter bangsa ini. Apa yang kita kehendaki? Kita belum tahu persis, pemerintah dengan revolusi mental, substansi dan esensi, konstruksinya, proyeksinya, mau seperti apa? Ini penting karena nanti kalau pandangan-pandangannya berkembang, itu tidak ketemu pada blueprintnya. Ketika Bung Karno mengonsep revolusi mental, yang ia maksudkan “gerakan baru untuk menggembleng manusia Indonesia yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, dan berjiwa api yang menyala”.
Ketika Marx mengenalkan revolusi mental dalam konteks sosiologi, dengan fokusnya menggulingkan borjuisme oleh proletar. Itu golnya. Ini perbandingan. Dalam konteks itu maka ada karakter yang diperjuangkan adalah collectivity, bukan individual. Kita banyak orang baik, tetapi kita juga kadang toleran dengan kegaduhan yang dilakukan oleh orang yang tidak baik. Harus ada perlu revolusi dalam state of mind dalam revolusi mental ini. Dalam konteks substansi ada tiga hal penting: (1) values: nilai-nilai dasar apa/bahan baku dari karakter bangsa ini, (2) structure: institusi pendidikan tidak lepas dari birokrasi pemerintah., (3) actor.
(1) values. Ada tiga basis nilai yang tidak lepas dari bangsa ini, (1) agama. Bagi orang Indonesia melekat kuat sehingga jadi way of life. Problemnya: bahan baku agama mana yang mau diambil untuk membangun karakter bangsa. Perlu di sini, objektivikasi nilai-nilai agama menjadi asupan bagi pembangunan karakter bangsa. Muhammadiyah sudah melakukan pendidikan Islam modern: rasional, objektif, adaptable pada sistem, pluralis. (2) Pancasila. Karakter orang Indonesia jika dirumuskan secara normatif ya sebagaimana Pancasila. LGBT, kalau itu konteksnya pribadi berbeda dalam konteks hukum. (3) kebudayaan yang hidup di Indonesia.
(2) Perlu perubahan structure. Ada politik di sini. Maka jangan sampai pendidikan ditumbalkan oleh politik. Perlu direformasi dalam struktur.
(3) Actor. Kuncinya adalah mewujudkan uswah hasanah di tingkat elit. Perlu ada konsistensi sikap. Harus ada keberanian. Penghargaan terhadap orang-orang yang jujur dan konsisten perlu dilakukan, bukan tokoh-tokoh yang kontroversial.
Dr Sabar Narimo Menyampaikan “ Saya mencermati dua hal: (1) tidak ada yang menolak bahwa pendidikan merupakan bagian dari kesejahteraan rakyat. (2) Perlu ada keseimbangan di sekolah antara kecerdasarn dan karakter. Sekolah lebih cenderung ke kecerdasan, dibanding karakter. (1) pendidikan menjadi bagian penting dalam revolusi karakter bangsa (2) dengan pendidikan itulah generasi muda menjadi generasi yang tangguh dan mampu menjawab tantangan zaman, (3) dengan pendidikan bangsa ini menjadi sejahtera “
Acara diskusi di mulai pukul 09.00 Wib berakhir pada pukul 12.15 Wib, dengan ditandai pemberian cindera mata dari Wantimpres kepada Narasumber dan Moderator dilanjutkan Pemberian cindera mata dari UIN Walisongo kepada Narasumber.
[:]