Ketika
kita mempelajari hadis Nabi Muhammad SAW, tentu pada saat tertentu dan
pada tingkatan tertentu kita akan diperkenalkan dengan suatu kelompok
yang dianggap inkar terhadap sunnah. Kenapa
demikian? Jawabannya tentu sangat bervariatif, tetapi yang jelas ialah
bahwa mengetahui kelompok inkar sunnah itu sangat diperlukan agar kita tidak terkejut apabila suatu waktu menemukan dan mengetahu kelompok ini. Paling tidak kita harus mengetahui apa alasan mereka menolak sunnah sebagai pedoman utama disamping al-Quran, dan tentu saja bagaimana para ulama menyikapi hal tersebut dan juga argumentasi para ulama dalam menghadapi persoalan tersebut.
Harapannya tentu kita yang mengkaji
sunnah atau hadis Nabi ini dapat lebih focus dan yakin, karena sedang
mengkaji sesuatu yang sangat bermanfaat, tidak saja bagi diri, tetapi
begi umat secara keseluruhan. Tetapi kalau
kelompok ini tidak kita ketahui dan kemudian pada saat tertentu kita
dihadapkan kepada kenyataan tentang inkar sunnah tersebut, sangat boleh
jadi kita akan kewalahan mengadapinya dan mungkin juga kita akan menjadi lemah, disebabkan penguasaan kita terhadap sunnah belum seberapa. Akibat lebih jauhnya ialah kita akan terpengaruh dengan argumentasi mereka dan kemudian menghentikan kajian kita tentang sunnah. Kalau ini yang terjadi, maka kita akan sangat rugi dan menyesal dikemudian hari.
Untuk
itu sebelum segalanya terjadi, maka kelompok ini memang harus
diperkenalkan dengan memaparkan seluruh argumentasinya, dan sekaligus
juga disampaikan bagaimana para ulama menanggapinya dengan mementahkan
argumentasi mereka. Bukan maksudnya untuk
memberikan indoktrinasi, tetapi lebih dimaksudkan untuk memberikan
gambaran yang seimbang antara argumenetasi yang disampaikan oleh
kelompok inkar sunnah dengan argumentasi ulama. Soal kekuatan argumentasi masing-masing kita tentu akan dapat melihat dan menilainya sendiri.
Perlu disampaikan bahwa inkar sunnah itu secara umum dapat dibagi dua kelompok, yakni inkar terhadap sebagaian sunnah saja, dan inkar terhadap keseluruhan sunnah. Demikian
pula bahwa inkar sunnah yang menyeluruh tersebut juga banyak macamnya,
sesuai dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing; ada inkar sunnah yang menyampaikan argumentasinya dengan santun
dan tampak intelek, tetapi ada juga inkar sunnah yang tampak tidak
mengetahui syariat Islam secara baik, sehinggga dalam menyampaikan
argumentasi tampak tidak memakai akhlak dan tidak intelek sama sekali.
Pada
saat terjadi perang saudara antara pasukan yang pro terhadap Ali bin
Abi thalib di satu sisi dan pasukan yang pro terhadap Muawiyan bin Abu
Sufyan di sisi lain, terjadilah polariasasi umat Islam. Ada
yang kemudian tetap setia dalam barisan Ali, dan ada sebagian yang
dahulunya berada di pasukan Ali, kemudian membelot disebabkan kebijakan
Ali yang melakukan tahkim dan damai denganpihak pasukan Muawiyah, yang
mereka disebut sebagai kelompok khawarij (yang keluar dari kelompok
Ali), ada juga yang tetap setia dengan Muawiyah, dan ada pula yang
bersikap netral, tidak mengggolong kepada salah satu diantara
kelompok-kelompok yang ada. (pada akhirnya mereka juga dikenal sebagai
kelompok tersendiri). Dari kenyataan tersebut kemudian juga berimbas kepada pendangan mereka terhadap hadis nabi Muhammad SAW.
Kelompok-kelompok yang ada tersebut pada saatnya juga saling mencari dukungan, baik dari masyarakat maupun dari argumentasi yang dianggap legal, yakni al-Quran dan hadis Nabi. Untuk
mendapatkan dukungan dari ayat-ayat al-Quran, tentu mereka tidak akan
mendapatkannya, sedangkan untuk mendapatkan dukungan dari hadis,
sesungguhnya mereka juga tidak akan mendapatkannya, karena keduanya,
yakni al-Quran dan hadis memang tidak akan pernah memberikan dukungan
kepada kelompok-keompok tersebut, keduanya justru mendorong untuk kesatuan yang utuh dalam bingkai masyarakat Islam. Karena itulah sebagian dari mereka kemudian berusaha untuk memalsukan hadis-hadis Nabi. Tentu keondisi tersebut dibarengi pula dengan ketetapan mereka menolak riwayat-riwayat yang tidak berasal dari golongan mereka. Inilah
yang kemudian dikenal dengan golongan yang inkar terhadap sebagian
sunnah/hadis, walaupun kemudian muncul pula golongan serupa tetapi
kriterianya bukan menolak sunnah yang diriwayatkan oleh orang-orang
yang bukan dari golongan mereka, melainkan mereka menolak seluruh
riwayat yang tidak mutawatir.
Sedangkan golongan yang inkar terhadap keseluruhan sunnah, munculnya lebih belakangan. Pada umumnya mereka memang tidak menjadikan sunnah sebagai salah satu pedoman utama di samping al-Quran. Mereka menganggap bahwa al-Quran sudah cukup untuk memberikan berbagai penjelasan yang diperlukan umat manusia di dunia ini. Biasanya mereka mendasarkan diri kepada beberapa ayat yang mereka
pahami sebagai isyarat bahwa al-Quran itu memang sudah komplit,
sehingga tidak memerlukan lagi tambahan, seperti al-sunnah ataupun
lainnya.
Secara garis besar argumentasi mereka meliputi alasan Nash yang terdiri dari ayat-ayat a-Quran, seperti misalnya:
ما Ùرطنا ÙÙ‰ الكتاب من شيئ (الأ نعام : 38)
Tidak ada yang kami alpakan satu apapun di dalam kitab al-Qur`an ini
ونزلنا عليك الكتاب تبيا نا لكل شيئ ( النØÙ„ : 89)
Dan kami telah menurunkan al-Kitab (al-Qur`an) kepadamu sebagai penjelas terhadap segala hal
إنا Ù†ØÙ† نزلنا الذكر وإنا له Ù„Øا Ùظون (الØجر : 9)
Sesungguhnya kami telah menurunkan al-Dzikr (al-Qur`an) dan Kamilah yang menjaganya
Ayat
pertama menjelaskan bahwa segala sesuatu telah dijelaskan di dalam
al-Qur`an, serta tidak ada satupun yang terlewatkan, sehingga tidak
diperlukan lagi al-Sunnah.
Ayat
kedua juga menjelaskan bahwa Allah menurunkan al-Qur`an yang di
dalamnya telah dijelaskan mengenai segala sesuatu, sehingga al-Qur`an
telah mencukupi, tidak lagi diperlukan al-Sunnah.
Ayat ketiga menjelaskan bahwa hanya al-Qur`anlah yang akan dijaga oleh Allah SWT; seandainya al-Sunnah juga dimaksudkan sebagai pedoman umat Islam, niscaya Allah akan menjaganya juga.
Kalau
al-Sunnah dimaksudkan sebagai hujjah tentu Nabi sendiri juga
memerintahkan untuk mencatat al-Sunnah, tetapi yang terjadi justru Nabi
hanya memerintahkan untuk mencatat al-Qur`an saja, dan bahkan menurut
sebuah riwayat, Nabi malah melarang mencatat al-Sunnah. Disamping itu beberapa riwayat mencatat beberapa sahabat tidak suka mencatat al-Sunnah, dan bahkan ketika ada yang mencatat, kemudian dimusnahkan, sehingga al-Sunnah menjadi tidak meyakinkan. Sementara itu Allah sendiri melarang berpegang kepada sesuatu yang tidak meyakinkan:
ولا تق٠ما ليس لك به علم ( الإسراء : 36)
Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak ada ilmu untuk itu (tidak kamu yakini)
إن تتبعون إلا الظن ( الأنعام : 143)
Kalian tidak mengikuti kecuali atas dasar dugaan belaka
Bahkan terdapat riwayat yang mengisyaratkan bahwa al-Sunnah itu tidak dapat dijadikan hujjah, yakni:
إن الØديث سيÙشوا عني Ùما اتاكم يواÙÙ‚ القرا Ù† Ùهو عني وما اتا كم عني يخال٠القرا Ù† Ùليس مني
Sesungguhnya hadis itu nanti akan tersebar dariku, maka
apapun yang datang kepada kalian dan sesuai al-Qur`an maka itu adalah
dariku, dan apapun yang datang kepada kalaian dan tidak sesuai dengan
al-Qur`an, maka itu bukan dariku.
Para inkar sunnah juga memberikan argumentasi secara aqli, yakni:
Berdasarkan
hal-hal dan kenyataan sebagaimana tersebut, sesungguhnya al-Qur`anlah
yang bisa dipegangi sebagai hujjah, sementara al-Sunnah, karena
sifatnya yang tidak dipelihara secara syar`i, sehingga tidak dapat
meyakinkan (hanya dhann/dugaan semata), maka tidak dapat dibuat hujjah
masalah agama.
Disamping itu al-Quran itu sesungguhnya juga dapat langsung dipahami dan tidak memerlukan hadis, tetapi justru hadislah yang juga telah menyebabkan perpecahan umat. Ini disebabkan karena perbedaan hadis yang diterima oleh masing-masing orang yang menjadi pengikut madzhab yang berbeda. Disamping itu hadis itu baru ada dan menyebar setelah nabi tiada, dan keberadaan hadis itu sendiri tidak ada yang dicatat pada masa Nabi.
Sedangkan jawaban dan argumentasi yang diberikan oleh para ulama, pada garis besarnya dapat dijelaskan sbb.:
Bahwa
benar Allah swt. Telah menjelaskan segala sesuatu di dalam al-Qur’an
dan tidak meninggalkan sesuatu apapun di dalamnya, sebagaimana
informasi ayat-ayat tersebut. Namun harus dicatat bahwa penjelasan yang dimaksudkan tersebut tidak mesti eksplisit terdapat di dalam al-Qur’an. Secara riil al-Qur’an tidak akan memuat segala sesuatu, misalnya tentang cangkok hati, transpalantasi anggota tubuh, bayi tabung, dll. karena al-Qur’an merupakan pedoman umum.
Maksud Penjelasan dan tidak ada satu apapun yang dialpakan al-Qur’an, ialah karena al-Qur’an telah memberikan petunjuk untuk itu, misalnya ayat:
يا أيها الذين امنوا اطيعوا الله وأطيعوا الرسول واولى الأمر منكم …. الأية النساء : 59
Ayat
ini jelas menunjukkan bahwa orang yang beriman diwajibkan tunduk dan
patuh kepada Allah melalui al-Qur’an, kepada Rasul, melalui al-Sunnah,
dan kepada ulil Amri, melalui putusan-putusannya.
Jadi ketika suatu hal tidak ada dan tidak ditemukan di
dalam al-Qur’an dan kemudian mengikuti Sunnah, atau ketika tidak ada
juga dalam al-Sunnah, kemudian mengikuti pendapat dan keputusan ulil
Amr, maka sesungguhnya itulah yang dimaksud bahwa al-Qur’an telah menjelaskan segala hal dan tidak meninggalkan segala sesuatu.
Sedangkan untuk ayat yang menyatakan bahwa
Allah akan menjaga al-Dzikr, maka sesungguhnya yang dimaksud al-Dzikr
itu tidak saja al-Qur’an tetapi juga masuk di dalamnya Syari`at yang
didasarkan kepada al-Sunnah. Kenyataannya
al-Sunnah juga dijaga dengan tampilnya para ulama menyelamatkan
al-Sunnah dari usaha pemalsuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu bukti bahwa al-Dzikr itu tidak saja al-Qur’an adalah ayat:
Ùاسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
Sementara itu untuk alasan
hadis, Tetapi sayangnya hadis yang dikutip tidak menyeluruh,
sesungguhnya disamping ada hadis larangan menulis hadis, juga terdapat
perintah menulis hadis; Bahkan menurut penelitian Mustafa Azami hadis yang melarang menuliskan hadis itu lemah.
Beberapa riwayat yang digunakan dasar oleh golongan inkar sunnah tersebut justru malah hadis yang sangat lemah, dan bahkan yang disebutkan terakhir itu bernilai maudlu’. Karena itu secara aqli kemudian menjadi kuat bahwa al-Sunnah itu mutlak dibutuhkan, misalnya dalam hal pelaksanaan shalat, manasik haji, dll.
Disamping itu para ulama juga berpedoman kepada ayat 44 surat al-Nahl, yakni:
• وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم
Dan aku telah turunkan al-Dzikr kepadau agar engka menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
Dan juga mendasarkn kepada ayat 31 S. Ali Imran:
• قل إن كنتم تØبون الله Ùاتبعوني ÙŠØببكم الله ويغÙر لكم ذنو بكم والله غÙور رØيم
Katakanlah
apabila kaian semua mencintai kpada Allah, maka ikutilah aku, niscaya
Allah akan mencintai dan mengampuni dosa kalian Dan Allah maha
pengampun agi maha kasih
Ada
juga ulama yang kemudian memberikan penafsiran bahwa yang dimaksud ayat
bahwa Allah tidak mengalpakan sesuatu apapun di dalam al-kitab, ialah
bahwa yang dimaksudkan al-Kitab itu adalah LAUH AL-MAHFUDH
Di dalam lauh al-Mahfudh tersebut memang tidak ada satu apapun yang luput atau lepas, termasuk ddaunan yang jatuh. Ini diinformasikan sendiri oleh al-Qur’an. Jadi al-kitab itu bukan al-Qur’an.
Sementara untuk argumentasi bahwa hadis itu sangat mudah untuk dipahami,juga tidak seluruhnya benar. Memang
adakalanya sesuatu ayat itu mudah dipahami hanya dengan membaca teksnya
saja, tetapi banyak juga ayat yang kalau tidak dijelaskan oleh Nabi,
menjadi sangat sulit untuk dpat dipahami oleh umat Islam secara umum. Sedangkan
tuduhan bahwa hadislah yang menyebabkan perpecahan umat itu sangat
tidak tepat, karena perbedaan ulama dalam persoalan furu’ tidaklah
menjadi halangan untuk melaksanakan ibadah secara khusus’ bagi
masing-masing. Sementara perbedaan hadis yang dipegangi oleh masing-masing madzhab
atau kaum muslimin secara umum, tidak otomatis menjadikan hadis
tersebut kemudian dianggap tidak tepat, karena untuk hal seperti itu
ada berbagai kemungkinan.
Bisa
saja karena sanad yang dipegang oleh masing-masing itu berbeda, tetapi
masing-masing sanad tersebtut ternyata sama-sama shahihnya, atau sangat
mungkin juga sesungguhnya salah satu sanad tersebut tidak shahih,
tetapi karena criteria yang digunakan oleh mereka berbeda, bisa saja mereka sama-sama menganggapnya sebagai hadis yang shahih. Dalam
hal kedua hadis yang berbeda tersebut ternyata secara substansial
sama-sama sgahihnya tersebut, bias dipastikan bahwa memang ada
peristiwa yang berbeda latar elakangnya, sehingga pernyataan Nabi bisa
berbeda dalam memberikan jawaban atau penjelasan , dan semua ini sangat
wajar. Ataupun bias saja terjadi persoalan yang lain, tetapi semua itu sesungguhnya dapat dijelaskan secara gambling dan rasional.
Sedangkan
tuduhan dan alasan mereka bahwa sunnah belum ada yang dicatat pada masa
Nabi Muhammad masih hidup, merupakan keterangan yang sangat lemah,
karena banyak bukti bahwa ada hadis-hadis yang sudah ditulis oleh para
sahabat pada saat Nabi masih hidup. Dalam hal ini MM Azami telah melakukan penelitian dan hasulnya menunjukkan bawa beberapa catatan telah ditemukan sejak zaman Nabi dan sahabat. Riwayat-rawayat yang shahih juga memberikan dukungan bahwa pada zaman Nabi, hadis atau sunnah sudah ada yang ditulis,meskipun memang belum keseluruhan. Tetapi yang jelas ialah bahwa meskipun
banyak hadis yang saat itu belum ditulis, tetapi yang pasti dihafal
oleh umat Islam,karena memang hadis atau sunnah ini, disamping langsung
diamalkan oleh umat islam, juga dikaji dan diperbincangkan oeh umat Islam secara meluas.
Dengan
penjelasan seperti tersebut dapat kita simpulkan bahwa argumentasi para
pengingkar sunnah itu ternyata sangat lemah, bila dibandingkan dengan
argumentasi para ulama. Dan karena itu sangat dianjurkan kepada semua orang yang mengkaji sunnah atau hadis untuk lebih mendalami lagi argumentasi penginkar sunnah dan sekaligus jawaban-jawan para ulama secara detail. Harus
disadari bahwa jawaban para ulama yang saya sebutkan tersebut tidak
menyeluruh, tetapi hanya pada pokoknya saja, sehingga sekalilagi sangat
dianjurkan kepada semua orang yang berminat dalam kajian hadis untuk memperdalamnya kembali sehingga akan mendapatkan penjelasan yang lebih luas dan meyakinkan.