UIN Walisongo Online, Semarang –
Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ( FISIP ) UIN Walisongo menggelar Kuliah Kerja Lapangan (KKL) secara daring melalui webinar nasional. KKL dilaksanakan pada tanggal 6-8 April 2021 dengan menghadirkan para pakar dibidangnya.
Pada rangkaian Webinar Nasional Series ke-3 KKL Program Studi Ilmu Politik mengundang nara sumber spesial Dr. Muhammad AS Hikam Mantan Menteri Riset & Teknologi RI dengan topik Civil society dan demokrasi di Indonesia: Prospek dan tantangan saat ini.
Dalam paparannya Dr. AS Hikam menyampaikan keberadaan masyarakat sipil memiliki peranan penting dalam proses demokrasi suatu negara. Masyarakat sipil dinilai memiliki 3 fungsi utama, yakni advokasi, empowerment dan social control, yang menunjang terciptanya demokrasi yang matang. Masyarakat sipil yang baik harus sadar akan hak dan kewajibannya secara konstitusional. Masyarakat sipil di Indonesia cenderung menjadikan dirinya sebagai pembantu masyarakat untuk mencegah agar kekuasaan tidak semena-mena. Hal ini harus terus dijaga.
“Selama tidak ada corong bagi masyarakat untuk mengontrol dan memberikan usul kepada pemerintah, sulit pemerintah bertahan untuk demokratis” tandas Dosen HI President University.
Lemahnya peran masyarakat sipil (civil society) di zaman Orde Baru berdampak terhadap menurunnya kualitas demokrasi. Civil society mengalami pengebirian dan pengawasan yang ketat oleh rezim, mulai dari ideologi gerakan, visi, platform hingga program aksi mendapat kontrol yang sangat ketat. Beberapa elemen masyarakat sipil (intelektual, aktivis, mahasiswa, pelaku media) kala itu yang tidak ingin didikte oleh rezim Suharto selalu melayangkan kritik bertubi-tubi terhadap rezim. Sayangnya, kelompok ini jumlahnya tidak seberapa, belum lagi kehadirannya selalu diawasi bahkan ada yang yang dihabisi tanpa diadili.
Pasca tumbangnya rezim Suharto, kemunculan civil society bak jamur di musim hujan. Tercatat, di era Presiden Habibi, Gusdur, Megawati, SBY hingga Jokowi, civil society tumbuh dan berkembang dengan pesat. Namun, hal itu tidak serta-merta berdampak pada peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri. Reformasi yang kini telah menginjak usia dewasa mestinya sudah mengalami fase kematangan demokrasi. Sayangnya, agenda reformasi ternyata tidak berimplikasi terhadap proses konslodisasi demokrasi. Bahkan, akhir-akhir ini menunjukkan preferensi ke arah diktatorialisme baru terang mantan menteri era Gusdur ini.
Webinar dilanjutkan series ke-4 dengan menghadirkan nara sumber Fatih Gama Abisono Nasution, M.A dengan topik Kendala dan Prospek Demokratisasi Desa di Rezim Jokowi- Ma’ruf. Dalam paparannya Abisono menyampaikan Lahirnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa merupakan proses mengembalikan kepercayaan negara kepada desa yang selama ini menjadi objek pembangunan baik dari pemerintah kabupaten maupun pemerintah pusat. Dengan dibuktikannya penerapan asas recognisi dan asas subsidiaritas yang merupakan upaya konkret dalam mewujudkan kemandirian desa tersebut. Oleh karena itu, untuk menyikapinya perlu dipersiapkan perangkat peraturan pelaksanan yang jelas baik secara substansional maupun secara operasional, tersedianya sumber daya manusia yang kompeten dan berkomitmen, sarana dan prasarana yang mendukung, pembinaan dan pengawasan secara kontinyu dan penyediaan sumber dana.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, secara jelas telah menempatkan desa sebagai suatu organisasi pemerintahan atau organisasi politik yang memiliki kewenangan tertentu.
Wewenang tersebut adalah untuk mengatur warga dan mengurus kepentingan komunitas /masyarakat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat. Selain itu secara politis desa mempunyai posisi sebagai bagian dari negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) sebagai kesatuan daerah terkecil yang mempunyai hak otonomi untuk mengatur sendiri daerahnya sesuai dengan budaya, asal usul dan adat istiadatnya yang berkembang di desa tersebut.
Otonomi yang ada di desa masih bersifat asli dan alami sehingga perlu dilindungi dan dihormati keberadaannya. Dan dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan bukti kongkrit bahwa keberadaan desa atau desa adat telah dijunjung dan dihormati agar tetap dijaga eksistensinya di tengah kemajuan jaman pungkas Dosen STPMD Yogyakarta ini. (Fisip/Humas)