Menakar Martabat Bahasa Indonesia: Sebuah Refleksi Bulan Bahasa

Eko Widianto

(Dosen Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing, UIN Walisongo Semarang)

 

Bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang lahir kemarin sore. Bahasa ini memiliki sejarah panjang yang selaras dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam konteks sejarah, bahasa Indonesia diklaim lahir bersamaan dengan Sumpah Pemuda, yang berlangsung pada Kongres Pemuda ke-II, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada kongres tersebut, rumusan bahasa Indonesia tidak sebatas gerakan kultural, tetapi juga politis. Bagaimana tidak? Bahasa Melayu yang dinilai sebagai akar bahasa ini, kemudian “dilahirkan kembali” menjadi bahasa Indonesia; sejajar dengan tanah air dan bangsa Indonesia.

Sejak kelahirannya, bahasa Indonesia menjelma menjadi bahasa yang kuat, tangguh, dan modern. Bahasa Indonesia sangat akomodatif terhadap perkembangan. Bahasa ini tidak hanya mampu meneguhkan diri sebagai bahasa nasional dan pemersatu. Lebih jauh lagi, bahasa ini dengan amat meyakinkan kokoh menjadi bahasa negara, bahasa ilmu, bahkan kini siap menjadi bahasa internasional. Istilah internasionalisasi bahasa Indonesia bukanlah cita-cita semu di siang bolong. Amanat ini tertuang jelas pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.

Kini, bahasa Indonesia eksis di kancah internasional. Salah satu potret menarik tentang bahasa Indonesia hari ini dapat dilihat dari bingkai BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing). Secara statistik, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa bahkan telah merilis daftar lembaga di seluruh dunia yang telah memfasilitasi kelas bahasa Indonesia. Tidak kurang dari 500 lembaga telah terverifikasi menjadi fasilitator kelas bahasa dan budaya Indonesia. Hal yang paling mengagumkan ialah, Harvard University di USA, yang dikenal sebagai salah satu kampus top dunia, telah mengajarkan bahasa Indonesia di Department of South Asian Studies.

Perkembangan ini menjadi sinyal kuat bahwa cita-cita menginternasionalkan bahasa Indonesia telah sampai di depan mata. Eksistensi bahasa Indonesia di kancah dunia telah tampak jelas. Bahasa ini juga telah kuat menjadi bahasa ilmu. Pintu bagi peradaban nusantara yang banyak dipelajari oleh ilmuan dunia. Untuk itu, tidak heran jika saat ini telah banyak ilmuwan dari berbagai kampus dunia yang mahir berbahasa Indonesia. Mereka sadar bahwa bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat esensial untuk membuka tabir peradaban di Indonesia. Tidak ada ilmuwan yang mampu membuka jalur-jalur sunyi di bidang antropologi, sejarah, arkeologi, dan sebagainya tanpa kompas yang bernama bahasa; bahasa Indonesia.

Namun demikian, justru sebuah pertanyaan besar menjadi mendung di langit kita sendiri, sebagai bangsa Indonesia. Sudahkah kita memuliakan dan memartabatkan bahasa Indonesia? Apakah kita benar-benar telah mengutamakan bahasa Indonesia di tengah-tengah percaturan global? Juga pertanyaan-pertanyaan lain yang sepertinya perlu beberapa tarikan napas untuk menjawabnya. Bahasa yang hari ini kian menjamur di negara lain, menjadi pusat studi, program studi, bahkan fakultas-fakultas, kadang terlupakan keistimewaannya di tanah kelahirannya.

Terkadang, kurang elok rasanya menakar hal-hal yang bersifat pribadi demikian. Oktober yang sunyi, serupa air yang tenang tanpa gelombang. Namun, bukankah air yang tenang adalah cermin yang jenih untuk merefleksi diri? Kesunyian ini seolah refleksi paling agung di tengah-tengah riuhnya “Bulan Bahasa”. Bulan yang selalu dikaitkan dengan hari kelahiran bahasa Indonesia. Tidak ada tumpeng atau tiupan lilin untuk bahasa Indonesia di kampus kemanusiaan dan peradaban.

Barangkali, kita memang tidak biasa merayakan sesuatu dengan pesta. Kita lebih suka merayakan berbagai hal dengan sederhana dan rapalan doa. Untuk itu, semoga bahasa Indonesia terus menjadi bagian perkembangan peradaban dan kemanusiaan. Bahasa yang tidak hanya menjadi buah bibir di arena internasional, tetapi juga bermartabat di “rumah” sendiri.

Leave a Reply