Imam Taufiq
(Guru Besar Ilmu Tafsir Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang)
Dinamika Covid-19 begitu cepat dan menyejarah. Virus yang tak terlihat mampu memporak-porandakan peradaban dunia. Pandemi telah merubah tatanan dunia di berbagai aspek kehidupan, tidak hanya struktur sosial masyarakat, politik atau kenegaraan akan tetapi merambah pada aspek tradisi, budaya dan nilai keagamaan yang selama hidup di tengah masyarakat. Mudik misalnya sebuah ekspresi khas budaya Indonesia yang menjadi sarana untuk bersilaturrahmi ke kampung halaman harus menyesuaikan dengan perkembangan Covid-19 itu.
Selama ini, ketika Hari Raya Idul Fitri tiba, mudik menjadi tradisi silaturrahmi dengan meluangkan waktu untuk kembali ke kampung halaman, dari kota menuju desa, dari kota ke kota dari penjuru nusantara. Mudik juga dipahami sebagai masa jeda dari rutinitas yang hedonis, formalis, konsumeris. Mudik juga merupakan ekspresi kedamaian dan kesunyian desa dari keramaian dan carut-marut perkotaan. Maka, tradisi mudik sering dibarengi dengan sungkeman dan bersalaman-salaman yang mengandung unsur saling mengaku kesalahan (ngaku lepat), juga simbol atas pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain khususnya orang tua atau yang dituakan. Model silaturrahmi melalui mudik juga dilengkapi dengan pemberian uang saku, angpau, halal bihalal dan aktivitas keluarga lainnya untuk mendukung keakraban dan kekeluargaan.
Di era pertama Islam atau masa kenabian, silaturrahmi membawa fungsi membentuk masyarakat modern (madani) yang disimbolkan dengan masyarakat yang peduli dan mendahulukan solidaritas social. Nabi SAW menyatakan: “: “Wahai manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah tali persaudaraan, shalatlah di malam hari ketika manusia terlelap tidur, niscaya kalian masuk surga dengan selamat.“ (H.R. Ibnu Majah). Hadis tersebut menjelaskan keseimbangan aspek ibadah sosial dan ibadah individual dalam satu kesatuan utuh. Yang disampaikan Rasulullah adalah nilai-nilai agama yang mengantarkan manusia secara menuju masyarakat madani dengan simbol perdamaian, saling berbagi dan saling silaturrahim. Ketiganya merupakan rumpun ibadah sosial. Begitu luhurnya nilai silaturrahim, ia disejajarkan dengan perintah bertaqwa kepada Allah SWT. Dalam al-Qur’an disebutkan: “..Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An Nisaa’ 4:1). Islam menjunjung tinggi mempererat silaturahmi untuk memupuk jiwa sosial. Hal ini sangat penting kiranya karena manusia seringkali menganggap ketakwaan seseorang hanya dilihat dari ibadah mahdlah semata dan melalaikan aspek-aspek sosial.
Silaturrahmi artinya menyambung kekeluargaan, dalam arti luas menyambung kasih sayang sesama manusia. Esensi silaturrahmi sesungguhnya mencakup 1). kebersamaan dalam akal dan pikiran, saling berpikir positif, berpikir demi kemaslahatan sesame dan berpikir untuk berbagi; 2). Kebersamaan dalam jiwa, bertemu dalam visi dan spirit yang sama, bersama dalam menutupi kesalahan dan menjaga keindahan serta kebaikan bersama; 3). Kebersamaan dalam doa dan harapan, bersama dalam harapan untuk masa depan yang lebih baik dan saling mendoakan untuk kebaikan. Melihat esensi silaturrahmi ini, sebagai efek dari puasa Ramadan yang membentuk pribadi yang muttaqin, maka sebenarnya silaturrahmi yang bertujuan penguatan ketahanan keluarga dan persaudaraan dapat berwujud silaturrahmi afkar atau bertugar gagasan dan ide kreatif untuk produktifitas masa depan, silaturrahmi arwah atau silaturrahmi salaing mendoakan dan menghargai jasa dan kontribusi masa lalu dan silaturrahmi amal atau penyatuan langkah menuju kebersamaan dalam bekerja dan aktivitas keseharian.
Dalam konteks yang lain, bahkan Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “”Maukah kalian aku tunjukkan akhlak yang paling mulia di dunia dan di akhirat?, yaitu Memberi maaf kepada orang yang mendzalimimu, memberikan sesuatu kepada orang yang menghalangimu dan menyambung silaturrahim kepada orang yang memutuskanmu” (HR. Al-Baihaqi). Artinya, dalam spirit kenabian, silaturrahmi adalah visi dan komitmen besar untuk memberikan yang terbaik kepada siapapun, khususnya kepada orang tua, keluarga dan orang-orang yang selama ini bersama. Maka sebenarnya silaturrahmi bukan hanya sekedar berkumpul bersama, bukan sekedar bertemu muka dan bertatap mata, akan tetapi mendesiminasi esensi silaturrahmi kepada orang-orang terdekat dan yang tercinta dan masyarakat umum.
Di tengah penularan Covid-19 yang mengkhawatirkan, pemberlakuan protokol kesehatan yang ketat dan larangan mudik di hari raya idul fitri tahun ini, diperlukan transformasi silaturrahmi. Mengganti kunjungan dan bepergian dengan silaturrahim secara virtual menggunakan video call dan aplikasi lain yang nyaman, adalah bentuk kepedulian dan kasih sayang yang sesungguhnya karena melindungi keluarga dari resiko penularan COVID-19. Silaturrahmi juga dapat dilakukan dengan cara memberikan tanda syukur dan kasih sayang melalui kiriman bingkisan (parcel/hampers), transfer dana, maupun e-money, mengirimkan video idul fitri, teks ucapan idul fitri, foto keluarga, flyer ucapan minal a’idin, maupun foto kenangan serta yang pasti mengikhlaskan kesalahan dan mendoakan. Model baru ini tentunya merupakan ungkapan rasa syukur dan ketakwaan social dalam rangka menciptakan kenyamanan, kedamaian dan meneguhkan silaturrahmi spiritual yaitu mengikhlaskan semua kesalahan tanpa diminta dengan penuh kesadaran dan mendoakan agar keluar saudara dan keluarga mendapatkan pengampunan dari Allah SWT.[]
*Tulisan ini telah diterbitkan Jawa Pos Radar Semarang, 12 Mei 2021.