SEMARANG – Pembangunan yang berkesinambungan antara satu
pemimpin dengan pemimpin yang selanjutnya, baik pada tataran pusat maupun
daerah sangat diperlukan agar pembangunan Indonesia terarah.
Sekretaris Badan Pangkajian MPR RI Drs HA Mujib Rohmat MH
menyatakan, Indonesia membutuhkan sistem perencanaan pembangunan nasional
seperti GBHN.
“Ada sebuah panduan nasional yang menjadi koridor bagi
pemimpin dari tingkat nasional sampai ke daerah. Konsep pembangunan satu dengan
yang lain ada keberlanjutannya, tidak terputus sehingga dapat menggambarkan
pembangunan nasional,†kata Mujib usai Dialog Nasional ‘Merespon Gagasan Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional Model GBHN’ di Aula I UIN Walisongo Semarang,
Rabu (4/5).
Dengan adanya sebuah panduan tersebut maka pembangunan
nasional yang menggambarkan mimpi Indonesia jangka panjang. Semua elemen bangsa
bisa mengatur, tujuan apa yang akan dicapai dalam jangka waktu tertentu.
“Jangan sampai pembangunan nasional beda antara pemerintah
pusat dan daerah, antara presiden, gubernur dan bupati/wali kota. Presiden satu
dengan yang lain juga bisa berkesinambungan programnya, tidak yang ini ke sini
yang itu ke sana,†tuturnya.
Panduan pembangunan seperti GBHN ini nantinya ingin tetap
dalam nuansa demokratis dimana daerah mempunyai otonomi untuk berpartisipasi.
Koridor pembangunan sudah ada sejak zaman Presiden Soekarno dengan pembangunan
semesta.
“Kemudian diteruskan oleh Orde Baru dengan lebih sistematis
tetapi terlalu hegemonis, sering dipakai sebagai alat kepentingan dan tidak
sesuai dengan demokrasi,†tambahnya.
Tahapan membuat panduan seperti GBHN ini di parlemen tidak
mudah, harus urut. Legislatif juga membutuhkan pandangan dan gagasan dari
masyarakat dan akademisi.
“Diharapkan, bertemu dengan kaum akademisi ini muncul
gagasan-gagasan baru dan asli. Yang jelas Forum Rektor sudah mempunyai naskah
mengenai panduan pembangunan seperti GBHN itu,†jelasnya.
Mengenai dasar hukumnya lanjut Mujib, masih ada dua
pendapat. Pendapat pertama perlu amandemen UUD 45 karena di Indonesia
menurutnya tidak mengenal induk dari undang-undang lainnya. Sedangkan pendapat
kedua, bisa melalui ketetapan MPR dengan menelurkan UU sebagai persyaratan
dikeluarkannya ketetapan MPR.