SASTRA, SANTRI, DAN NARASI NASIONALISME

Achmad Muchamad Kamil
Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Walisongo Semarang

 

Topik ihwal sastra, santri, dan narasi nasionalisme ini merupakan topik yang cukup lekat dengan kita kini. Mengingat beberapa waktu ini terdapat perayaan Hari Santri, Sumpah Pemuda, serta Hari Pahlawan. Rangkaian momen beruntun nan apik ini kiranya perlu ditelisik melalui sudut pandang yang berbeda, utamanya dari sudut pandang sastra dan santri.

Jamak diketahui akar kata sastra bersal dari bahasa Sansekerta yang memiliki makna sarana pengajaran atau buku petunjuk. Pada tataran ini, kata sastra memiliki makna yang berbeda dengan kata susastra, kesastraan, serta kesuasatraan. Kemudian dalam bahasa Indonesia kata sastra dimaknai oleh banyak pakar, di antaranya sebagai seni berbahasa atau seni yang menggunakan bahasa sebagai alat ungkap. Lantas apa kaitannya dengan santri?

Pun demikian dengan kata santri. Beberapa pakar berpendapat akar kata santri berasal dari bahasa Sansekerta, sashtri, yang memiliki makna orang yang mengetahui sastra. Ada pula kata cantrik yang memiliki makna orang yang berguru. Dewasa ini, kata santri dimaknai sebagai orang belajar agama Islam di pesantren. Bahkan sejak tahun 2015 pemerintah Indonesia menetapkan ihwal Hari Santri Nasional yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober.

Penetapan Hari Santri Nasional tersebut dimaksudkan untuk mengakui eksistensi santri dalam membangun bangsa, wa bil khusus peran santri dalam perjuangan dan pemertahanan kemerdekaan Indonesia. Hal ini merujuk pada Resolusi Jihad yang turut memantik peristiwa 10 November di Surabaya. Meski demikian sesungguhnya kaum santri telah mewarnai narasi kebangsaan jauh sebelum itu.

Lantas poin utamanya, bagaimana peran sastra dan santri dalam narasi nasionalisme?

Pada khazanah sastra indonesia modern, kita mendapati beberapa karya sastra yang mampu meramu upaya tersebut. Di antaranya yakni karya satra puisi berjudul Surabaya karya KH. Mustofa Bisri. Puisi tersebut memuat narasi perlawanan dan heroisme peristiwa 10 November, pertempuran pertama pasca proklamasi kemerdekaan. Karakter kesatria yang dihadirkan diperkuat atau bahkan tidak dapat dipisahkan dengan karakter religius pada diri tokoh. Semisal pada baris berikut.


Dengarlah pekik mereka
Allahu Akbar
Gaungnya menggelegar
Mengoyak langit Surabaya yang murka
Allahu Akbar
Menggetarkan setiap yang mendengar

Ada pula puisi berjudul Indonesia Tanah Sajadah karya D Zawawi Imron, yang memuat narasi cinta tanah air. Puisi yang pertama kali dibacakan pada Muktamar NU ke-33 ini menarasikan rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT sejak sebelum kita lahir hingga kita menghembuskan napas terkahir. Nikmat yang ditampakkan dalam puisi ini yakni nikmat menjadi Indonesia, sebagaimana penggalan bait berikut.


Kita minum air Indonesia menjadi darah kita
Kita makan buah-buahan dan beras Indonesia menjadi daging kita
Kita menghirup udara Indonesia menjadi napas kita
Satu saat nanti kalau kita mati
Kita akan tidur pulas dalam pelukan bumi Indonesia
Daging kita yang hancur
Akan menyatu dengan harumnya bumi Indonesia

Tentu saja terdapat banyak lagi karya sastra yang memuat keterlibatan santri baik sebagai pengarang ataupun isu dalam narasi nasionalisme. Untuk itu, semoga sastra dan santri semakin memberi warna dalam jagat kesusastraan kita.

 

Leave a Reply